RUMAH
Jenggala berjalan ke ruang makan, berniat mengambil makanan, lalu Fani Haristya yang tak lain adalah Ibunda dari Jenggala melihat sesuatu yang janggal pada wajah anak laki-lakinya tersebut.
“Loh, ini kenapa muka kamu kayak ada memarnya? Kenapa Bunda baru tau?”
“Dia sempat berantem sama preman waktu itu, makanya sampe memar,” jawab pria berbadan tegap bernama Evan Wijaya yang tak lain ialah paman dari Jenggala.
“Kamu tau darimana? Gala kenapa bisa berantem?” Ibunda Jenggala langsung menoleh kearah Evan.
“Waktu itu ak—” lagi-lagi Jenggala tak sempat menjelaskan dan langsung disambung oleh Evan.
“Ada temen cewe Gala yang nekat ke rumah Jonathan, dan kamu tau apa yang dilakukan anak kamu? Dia minum-minum di sana. Terus cewe itu ke rumah Jonathan untuk berusaha ngebuang minuman yang bakal diminum Gala, tapi entarnya malah dia yang dijahatin sama preman. Untung Gala dateng dan berantem sama preman itu, walaupun tetep aja temennya Gala harus masuk rumah sakit karena kepalanya kebentur tembok waktu ngelawan salah satu preman disana. Aku tau karena waktu itu aku yang liat Jenggala pulang tengah malem dengan muka lebam, dan aku suruh dia jelasin semuanya,” Evan menjelaskannya dengan cukup rinci. Ditambah dengan raut wajah yang mengintimidasi ke arah Jenggala.
“JENGGALA! siapa yang ngajarin kamu minum-minum kayak gitu?! Kamu sering keluyuran untuk mabok-mabokan ya?!” kedua tangan Fani mencengkeram pundak Jenggala membuat yang ditanya bergetar.
Marah, sungguh marah yang Fani rasakan saat mengetahui kelakuan anaknya yang masih belia sudah berani bertingkah kelewatan.
“Jangan lupa temennya jadi celaka juga karena peduli sama dia,” smirk itu tersimpul pada wajah Evan yang berada di pojok belakang Fani, dan mengarahkan tatapan tajamnya pada Jenggala.
“Kamu masih kecil gini udah ngebahayain nyawa orang ya, kenapa sih kamu lagi-lagi bikin orang celaka? kenapa kamu ga bisa nurut sama Bunda? sama Om kamu, sama Tante kamu?!”
“Bund, tapi Gala sama sekali ga ada niat bahayain temen Gala. Bahkan Gala bener-bener khawatir waktu tau dia dikejar sama preman. Gala ga ada ni—”
“Coba aja kamu ga minum, coba aja kamu nggak ke rumah si Jonathan temen kamu itu yang usianya jauh lebih dewasa dari kamu, pasti temen cewe kamu nggak bakal kesana dan juga ga bakal celaka. Ya kan Fan?” Lagi dan lagi, Evan memotong penjelasan Jenggala dengan amarahnya.
“Ini ada apa sih? aku baru dateng udah denger ada yang marah-marah. Siapa yang berulah?” Wanita dengan tas belanja di tangannya memasuki ruang makan, melihat keluarganya sedang berdebat. Ia adalah Ratna, kakak perempuan dari Fani sekaligus Bibi dari Jenggala.
“Tanya aja tuh sama ponakan mba, dia habis bikin orang celaka karena ngekhawatirin dia yang minum-minum bareng temennya.” Netranya menunjuk ke arah Jenggala yang masih tertunduk diam.
Kemudian Fani meninggalkan ruang makan beserta Jenggala dan yang lainnya. “Udahlah aku mau ke kamar aja. Pusing”
“GALA?! Bener kamu celakain anak orang?!” Pertanyaan kembali muncul, pertanyaan yang sama dengan nada tinggi yang sama oleh orang yang berbeda.
“Sayang, udah-udah mending sekarang kita ke kamar, biar aku aja yang jelasin di kamar.” Evan mengelus pundak istrinya, mencoba meredakan amarah Ratna dan menuntunnya ke kamar pergi meninggalkan Jenggala seorang diri di ruang makan.
Kedua tangan Jenggala mengepal kuat untuk menahan emosinya, ia sangat kehilangan akal dengan semua masalah ini. Ingin sekali ia menyalurkan pedihnya, bahkan rasa lapar yang sedari tadi menggrogoti hilang entah kemana. Ia benar-benar hampir muak dengan keadaan tempat yang orang-orang sebut rumah ini.