Sosoknya

“Nangis aja kalik, lo juga manusia” suara lantangnya berhasil mengagetkan remaja laki-laki yang sedang memaksakan diri untuk tidak menangis.

“Sejak kapan lo di sana?” Menoleh ke arah gadis yang tadi meneriakinya ternyata berada di belakangnya.

“Lima menit, dan selama itu gue ngeliat lo ngoceh terus ga boleh nangis lah, ga boleh cengeng lah. Ngapain sih lo maksain diri lo untuk ga boleh nangis? lo masih manusia kan? masih hidup kan? hewan aja bisa nangis, apalagi lo”

“Gue cowo, cowo ga—”

“Cowo boleh nangis. Cowo itu manusia, cowo itu ga sempurna, cowo itu punya perasaan, dan cowo wajar untuk menangis” belum usai kalimat yang diucapkan Jenggala, Gladys sudah lebih dulu melanjutkan dengan versinya sendiri.

“Jeng—”

“Gala,” potong Jenggala.

“Oke, Jenggala, lo itu boleh nangis. Lo ga bakal keliatan lemah cuma karena lo nangis, dengan lo nangis itu tandanya lo punya perasaan. Terkadang kita itu harus ngeluarin emosi kita biar ga meluap dan berakhir menyakiti yang ada di sekitar kita termasuk diri kita sendiri. Sama kayak lo nangis, lo ngeluarin emosi biar lo makin kuat, biar wadah yang ada di benak lo itu kosong dan bisa nampung semua emosi lo lagi” “Keluarin aja gal. Feel all your emotions, throw them all away, it's okay to cry, it's okay to be tired. And you can tell me your problems when you're ready”

“Is that okay? Gue ga ngebebanin?” Pandangan yang sebelumnya enggan memandang lawan bicaranya pun perlahan mengarah pada wajah gadis yang tepat berada disampingnya

“Big noooo, don't say that again. Tell me if you want. Cerita aja biar lo lega, ada masalah apa memangnya? pacar lo selingkuh? pacar lo bohong? pacar lo jalan sama cowo lain?” Gladys benar-benar membuka ruang untuk Jenggala menceritakan segala kepedihannya.

“Gue ga punya pacar” “Gue tuh curiga sama om gue, tadi di mall gue liat dia jalan sama wanita lain, dari kemeja yang dia pake juga sama banget. Tapi pas gue ngadu sama tante gue, dia ga percaya. Entah dengan cara apa om gue pinter bikin skenario sebagus itu dan buat semuanya percaya sama dia. Jujur gue capek glad liat om gue ngedrama terus. Ini udh kali ketiga gue curiga dia selingkuh, tapi orang rumah gak ada yang percaya sama gue. Gue capek”

Ia menceritakan permasalahan yang terjadi hari ini padanya, menceritakan segala perasaan muak dan kesabaran yang hampir melewati batas. Baru kali ini ia merasa yakin bercerita pada seseorang yang bahkan masih disebut hanya sekedar 'teman'.

“Jenggala.. gue turut sedih sama apa yang lo alami, gue juga benci banget sama perselingkuhan dan kalau om lo beneran selingkuh gue harap dia bisa cepet ketahuan ya” “Berarti sekarang lo harus lebih hati-hati gal, lo harus lebih teliti dan siapin alat untuk save barang bukti yang lo liat. Life is a bastard, but I'm sure there will be a phase where life will make you feel perfect”

Gladys, tatapannya mengarah pada langit malam, sesekali menoleh pada manik Jenggala. Sosok gadis yang tak pernah menyangka bahwa Jenggala memiliki permasalahan seperti ini, sosok gadis yang dulu sering berfikir bahwa Jenggala hanya remaja laki-laki nakal, dan hanya memiliki permasalahan biasa pada keluarganya.

Namun kini ia ingin merubah pikirannya. Jenggala tak hanya sekedar remaja laki-laki nakal tapi ia juga laki-laki kuat. “Mungkin gue harus kenal Jenggala lebih jauh sebelum berasumsi yang macem-macem,” batinnya.

“Gue bakal bantu semua rencana lo untuk buktiin tentang perselingkuhan om lo itu,”

“Enggak usah, biar gue sendiri yang nanganin. Pokoknya lo jangan pernah diem-diem ikut rencana gue, lo cukup jadi temen yang dengerin gue curhat aja,” ucapnya dengan tempo cepat dan penuh penekanan.

“K-kenapa..?” Mata Gladys membulat dengan ekspresi bertanya-tanya, padahal ia berniat baik namun mengapa ditolak oleh Jenggala?

“Gue ga mau lo berkaitan sama masalah gue ini dan malah bikin lo celaka” Nadanya memelan.

___

Hening. Hanya suara angin dan dinginnya malam yang mengelilingi keduanya. Sampai salah satu dari mereka kembali membuka suara.

“Lo udah ngerasa lebih lega, belum? makasih udah percayain gue sebagai tempat cerita lo.” Tangannya mengusap pelan punggung Jenggala dibarengi dengan meronggahkan senyuman ke arahnya.

“Makasih banyak. You made my day, glad”

Malam itu menjadi hari pertama dimana Jenggala dapat tersenyum penuh ketulusan, dan itu mengarah pada lawan bicaranya.