Upacara

“Haduh glad, ini kayak mau hujan ga sih? udah ada rintik air yang jatuh.” Seseorang berbisik dari belakang, ia adalah Rika.

“Kayaknya iya deh Rik, udahlah kita liat nanti,” jawab Gladys.

Lima menit kemudian secara tiba-tiba hujan turun cukup deras, membuat seluruh siswa berhamburan mencari tempat teduh. Beberapa siswa berteduh di bawah pohon yang ada pada sisi lapangan, dan banyak juga yang berlarian keluar lapangan menuju sekolah termasuk Gladys. note: jadi lapangan cadangan ini tempatnya beda sama sekolah ya guys

Saat Gladys baru saja keluar dari lapangan, dari arah kanan ada seseorang yang menarik tangannya dan mengajak berteduh pada sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan lapangan, orang itu ialah Jenggala.

“Lo ngapain ngajak gue kesini sih? Gue mau langsung ke sekolah tau, gal”

“Kalo lo langsung ke sekolah pakaian lo makin basah, bahaya juga lari-larian di jalan raya. Lo liat aja tuh rombongan hampir menuhin jalan raya, kalo lo jatuh itu makin bahaya”

Gladys hanya terdiam setelah mendengar alasan Jenggala mengajaknya kemari, kemudian ia berusaha mengganti topik agar Jenggala tidak memojokkan dirinya seorang.

“Lo bolos ya?”

“Bolos upacara doang, udah keliatan mau hujan makanya gue males ikut upacara. Dan liat kan sekarang?”

“Sial, kok malah gue lagi yang dipojokin padahal gue mau mojokin dia,” batinnya nenggerutu.

“Lo pake ini sekarang biar ga dingin.” Jenggala menyerahkan jaketnya kepada Gladys. Saat menyerahkannya pun pandangan Jenggala tak mengarah pada Gladys, melainkan ke arah lain entah kemana.

“Lo tunggu di sini jangan kemana-mana gue mau ambil sesuatu di motor.” Jenggala mengambil kunci motornya dan masuk ke ruang belakang rumah makan tersebut untuk menemui teman-temannya. Sebelum itu ia meminta izin untuk meminjam payung milik Ibu rumah makan untuk ia pakai saat mengambil barang di motor.

“Ada yang bawa mantel ga? gue pinjem dulu, nanti pulangnya gue kembaliin,” tanya Jenggala pada teman-temannya.

“Gue bawa, ambil aja di motor. Nih kuncinya.” Jiendra menyerahkan kunci motornya kepada Jenggala.

“Thanks jie”

“Untuk siapa gal? Lo kan udah bawa mantel,” tanya Naren.

“Gladys, itu orangnya di depan. Ajak ngobrol gih biar ga diem kayak patung di sana,” ajaknya kepada Henzo serta teman-teman.

“Jiakhh sweet banget sih cintaaa,” Henzo berteriak meledeki Jenggala yang sudah berbalik untuk mengambil barang pada motornya yang terparkir pada parkiran lapangan.

“NAJIS LO”


Sehabisnya dari mengambil mantel dan suatu totebag, ia kembali ke ruang belakang menemui Gladys yang sedang mengobrol dengan teman-temannya

“Nih, sekarang lo ganti seragam dan pake seragam gue aja. Habis itu pake mantel gue dan kita langsung ke sekolah.” Jenggala menyerahkan totebag warna cokelat yang berisi seragam putih miliknya kepada Gladys. Dan juga mantel miliknya

note: Jenggala pake mantelnya Jie dan Gladys pake mantelnya Jenggala ya.

“Untuk apa? Gue bisa keringin baju gue di kelas nanti”

Jenggala menarik tangan Gladys ke pojok ruangan dimana letaknya cukup berjarak dengan meja teman-temannya sehingga mereka tidak dapat mendengar pembicaraan Gladys dan Jenggala.

“Ngapain jauh gini sih ngobrolnya? bisa kalik di meja temen-temen lo”

“Seragam lo basah banget, ga mungkin bisa cepet kering. Jadi mending ganti pake punya gue dan di totebag itu udah ada kaos tipis warna putih yang barusan gue beli di minimarket”

“M-maksud lo itu ya...?” Setelah mendengar penjelasan itu, Gladys berpikir bahwa Jenggala memberikan seragamnya karena seragam putih yang basah akan tembus pandang, yang pasti akan membuat Gladys tidak nyaman.

“Udah paham?”

“Makasih banget ya gal”

“Udah sana buruan ganti. Gue tunggu di meja itu.” Jenggala menuntun Gladys ke toilet kemudian menunggunya di meja dekat kamar mandi. ((Lebih tepatnya sih ngejagain biar gak ada orang yang ngetuk kamar mandinya))