Yang Tersembunyi
“Heh, lo kemana aja tadi? Yang lain pada khawatir tauk,” cibirnya yang membuat alisnya ikut mengkerut.
“Bolos.”
“Lo boong, ya? Lo ga mungkin bolos tanpa alasan, kan?”
“Gue—gue lagi males aja masuk sekolah” Terlihat Jenggala yang sedikit gelagapan saat menjawab pertanyaan dari Gladys.
“Sikap dan mata lo bilang kalo lo bohong, gal” Kini nada suaranya jauh lebih serius.
“Gala. Jangan ngerasa gaenakan, kalo lo mau cerita gue siap untuk dengerin. Tapi kalo lo emang belum mau cerita—ga masalah, itu hak lo.” Sebuah senyuman kecil kemudian dilayangkan kepada Jenggala seraya mengusap pundaknya.
“Gue ... kangen ayah. Jadi tadi nyamperin beliau.” Jenggala mulai membuka cerita, entah mengapa ia merasa yakin untuk menceritakan hal ini pada Gladys.
“Berarti beliau tau dong kalo lo bolos? Dimana rumah ayah lo? Gue mau kasi tau nih anaknya bandel bikin semua orang khawatir.”
“Di surga.”
Gladys membeku, ia berusaha mencerna kata yang baru saja ia dengar.
“Maaf buat lo kaget. Hari ini tepat ayah dan paman gue meninggal beberapa tahun lalu. Jadi gue ke makam mereka. Dan gue masih butuh waktu sendiri, makanya tadi bolos.”
“Maaf...aku bener-bener ga tau. Aku turut berduka cita ya.”
Hanya anggukan dan senyuman yang menjadi respon dari Jenggala.
“Jadi om yang biasa kamu ceritain itu ... yang lain ya?”
Jenggala menghela nafas kasar dan mengangguk. “Iya. Tante gue nikah lagi setelah paman meninggal.”
“Jujur, masalah keluarga gue terlalu kompleks, Glad. Bahkan gue sendiri bingung mikirinnya. Ayah dan om gue meninggal di waktu yang sama, dan itu gara-gara gue. Coba aja waktu itu gue ga minta dibeliin makanan kesukaan gue, pasti mereka ga bakal kecelakaan, dan sampe sekarang pasti kita masih jadi keluarga yang utuh. Dan juga kalo om gue ga meninggal ... tante gue gak bakal nikah lagi sama orang brengsek yang sekarang ini makin bikin keluarga gue menjauh dari gue. Gue benci banget sama dia. Diawal emang baik, dia bikin semua orang tertuju ke dia, tapi lama kelamaan ternyata keluar juga busuknya, dia manipulatif, dia licik”
Mendengar hal itu Gladys merasa bersalah karena telah membuka luka lama Jenggala. Kemudian ia mengusap punggung laki-laki yang berada disampingnya ini.
“Gala, aku minta maaf karena bikin kamu makin sedih. Kamu jangan nyalahin diri kamu terus, ya? Ini kecelakaan dan ini diluar kendali kamu.”
“Tapi kalau gue ga minta permintaan sekecil itu pasti mereka masih ada, glad. Ini salah gue!”
*“Oke, gini deh.” Ia memutar badan ke arah Jenggala, memandang lekat kedua matanya dari sisi samping, yang masih membengkak akibat tangis.
“Aku paham rasa bersalah kamu, karena mereka pergi keluar untuk memenuhi keinginan kamu. Tapi mereka kecelakaan bukan karena kamu yang nabrak bukan karena kamu yang rencanain, gal. Ini diluar kendali kamu. Keinginan kamu waktu itu hal yang umum, siapa pun bisa ngelakuin hal yang sama dan ga ada yang bisa duga kalo bakal berakhir celaka.”
“Gala. Mereka sayang sama kamu, iya kan? Berarti mereka bakal bahagia kalo liat kamu bahagia. Maka dari itu jangan terus nyakitin diri kamu karena merasa bersalah atas kepergian mereka. Tuhan paham perasaan kamu, kok, Tuhan juga bangga karena kamu sepeduli ini sama ayah dan om kamu. Tapi kamu ga bisa #####stuck* disini terus, udah cukup kamu nyakitin diri sendiri yang kamu anggap sebagai hukuman atas kepergian ayah dan om kamu. Kamu harus bangkit dan bikin mereka bangga dari sini, ya? Susah. Memang susah. Tapi kamu ga sendiri, kamu punya aku, kamu juga punya Henzo, Rendi, Naren, Jiendra bahkan Kak Jeff sekalipun. Kita bakal bantu kamu, kita harus saling rangkul, kan, gal?”*
Maniknya mulai berkaca-kaca. Bibirnya mencoba merekahkan lengkungan dibalik hatinya yang masih tersayat. Ucapan Gladys berhasil membuat hati yang semulanya begitu sesak sedikit demi sedikit mendapatkan ruang.
“Kalo gue dikasi kesempatan gue cuma pengen ayah dan om gue balik, tapi itu udah ga mungkin. Sekarang gue cuma berharap keluarga gue kembali layaknya rumah untuk pulang, bukan sekedar tempat singgah untuk berteduh dari hujan”
“Aku dan temen-temen pasti doain yang baik untuk kamu.” Lagi-lagi senyuman itu datang, senyuman cantik yang memancarkan ketulusan, tidak lupa dengan genggaman disertai usapan pada permukaan kulit sahabat laki-lakinya ini.
“Glad... aku boleh peluk kamu, lagi?”
Yang ditanyai tertegun dengan matanya terbelalak. Jantungnya? Tentu aman namun berdegup semakin kencang. Ohya, mengapa perutnya ikut merasakan sesuatu yang aneh? Rasanya begitu memabukkan namun tak biasa. Kemudian Gladys hanya mengangguk sebagai jawaban.
Tanpa banyak bicara lagi, Jenggala langsung memeluk gadis dihadapannya. Sosok gadis yang dulu bisa ia katakan sok tau dan nekat namun ternyata berhati lembut yang entah mengapa mampu membuat Jenggala merasa...bahkan ia sendiri masih sulit mendeskripsikan apa yang dirasa— semua begitu beragam. Yang ia tau, ia ingin Gladys selalu ada dalam cerita kesehariannya—menjadi pemeran utama di dalamnya.