jncoretanarin

Setelah beberapa saat hanya saling berdiam diri, Gladys mencoba mengelus punggung Jenggala yang ada di sebelahnya. Ia pikir Jenggala akan merasa lebih tenang, namun siapa sangka malah terdapat air yang membendung di matanya. Jenggala menunduk, menutup wajahnya sesaat dan menyisir kasar rambutnya serta meremas keras kepalanya. Emosinya tak tertahankan, benteng kepedihannya pun telah terbuka.

“It's okay, keluarin aja.” Gladys menarik tubuh Jenggala agar bersandar pada pundaknya.

Jenggala menurut, ia bersandar kemudian menenggelamkan wajahnya pada pundak Gladys.

Gladys membiarkannya menangis beberapa saat sembari mengusap surai hitam sampai ke punggungnya. “Pasti berat banget ya? pundak kamu hebat, bisa nampung banyak hal. Sama kayak pemiliknya”

“Kamu tuh hebat karena udah bertahan sejauh ini. Gapapa kalau mau istirahat sebentar, bukan berarti lemah tapi tanda kamu sayang sama diri kamu sendiri untuk diistirahatkan sebelum terus berlari.” Gladys masih terus mengusap punggung Jenggala. Dan Jenggala yang mendengarkan kalimat itu memindahkan tangannya ke pinggang Gladys, dan semakin mengeratkannya.

“K-keluarga gue sekarang terasa b-beda banget.” Jenggala mulai berbicara, meski masih dalam isakan tangisnya.

“Gue kangen, kangen keluarga gue yang lama. K-kangen beliau juga.” Jenggala melepas pelukannya. Ia mengatur napas dan mulai sedikit mengatakan alasan ia menangis. Tidak, ia tidak menceritakan semua secara rinci, masih sulit rasanya untuk menceritakan semua.

Awalnya Gladys bertanya-tanya “Beliau” yang dimaksud oleh Jenggala itu siapa. Namun ia memilih diam, tak ingin banyak bertanya jika memang Jenggala tak mau menceritakannya.

“Terkadang cara Tuhan emang menyakitkan banget ya, gal. Tapi aku yakin everything will be fine. Dengan cara yang menyakitkan itu kita jadi belajar dan tau banyak hal. Emang sakit banget sih, kadang mikir kenapa harus gue? dan kenapa ga dengan cara yang lebih halus aja? Dan aku coba untuk nenangin pikiran aku dengan berpikir bahwa aku orang yang kuat, Tuhan kasi aku tantangan sesakit ini karena aku emang hambanya yang kuat. Aku diuji untuk ngebuktiin bahwa aku bisa ngalahin masalah aku. Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita. Bukan kita yang kalah dan membiarkan masalah yang menguasai kita.”

“—Aku berharap banget semua masalah kamu bisa cepet selesai ya, gal. Aku ngerasain kalau kamu itu kuat, kamu cuma perlu seseorang untuk ada di samping kamu disaat pikiran kamu kalut. Untuk ngontrol emosi kamu biar ga lepas kendali. Dan yang bisa jadi tempat kamu bercerita.”

“Dan aku rasa, orang itu kamu, Glad.” Jenggala mengalihkan pandangannya ke arah Gladys, melihat netra yang tulus dan menenangkan pada matanya.

“Hm, kamu bilang apa tadi?”

“Ohh enggak-enggak.” Rupanya tadi Jenggala hanya bergumam sehingga membuat volume suaranya tak terdengar jelas.

“Kamu bener, glad. Aku harus buat masalahku runtuh karena pertahananku, bukan ngebiarin diri aku yang runtuh karena masalahku. Makasi ya”

“Hehe iya. anyway aku dapet kata-kata itu dari sosmed sih. Tepatnya di tiktok dengan username @rakasgxy” Gladys tertawa kecil saat mengatakan apa yang menjadi inspirasinya.

“Ohya? hahahaha. Berarti ga jadi deh gue bilang lo keren, orang rakasgxy yang lebih keren.”

“Ih lo kok gituuu sih.”

“Aduh!” Jenggala memegang lengan atasnya yang dipukul oleh Gladys.

Setelah itu, mereka tertawa lepas. Saling bergurau dan melemparkan segala candaan dengan senyuman.

notes: kata-kata “Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita” itu memang beneran terinspirasi dari tiktok @rakasgxy ya. Tapi sekarang videonya udah gak ada. Jadi aku drop screenshotnya aja ya

![rakasgxy on tiktok] (https://i.imgur.com/4MkPfb5.jpg)

Setelah beberapa saat hanya saling berdiam diri, Gladys mencoba mengelus punggung Jenggala yang ada di sebelahnya. Ia pikir Jenggala akan merasa lebih tenang, namun siapa sangka malah terdapat air yang membendung di matanya. Jenggala menunduk, menutup wajahnya sesaat dan menyisir kasar rambutnya serta meremas keras kepalanya. Emosinya tak tertahankan, benteng kepedihannya pun telah terbuka.

“It's okay, keluarin aja.” Gladys menarik tubuh Jenggala agar bersandar pada pundaknya.

Jenggala menurut, ia bersandar kemudian menenggelamkan wajahnya pada pundak Gladys.

Gladys membiarkannya menangis beberapa saat sembari mengusap surai hitam sampai ke punggungnya. “Pasti berat banget ya? pundak kamu hebat, bisa nampung banyak hal. Sama kayak pemiliknya”

“Kamu tuh hebat karena udah bertahan sejauh ini. Gapapa kalau mau istirahat sebentar, bukan berarti lemah tapi tanda kamu sayang sama diri kamu sendiri untuk diistirahatkan sebelum terus berlari.” Gladys masih terus mengusap punggung Jenggala. Dan Jenggala yang mendengarkan kalimat itu memindahkan tangannya ke pinggang Gladys, dan semakin mengeratkannya.

“K-keluarga gue sekarang terasa b-beda banget.” Jenggala mulai berbicara, meski masih dalam isakan tangisnya.

“Gue kangen, kangen keluarga gue yang lama. K-kangen beliau juga.” Jenggala melepas pelukannya. Ia mengatur napas dan mulai sedikit mengatakan alasan ia menangis. Tidak, ia tidak menceritakan semua secara rinci, masih sulit rasanya untuk menceritakan semua.

Awalnya Gladys bertanya-tanya “Beliau” yang dimaksud oleh Jenggala itu siapa. Namun ia memilih diam, tak ingin banyak bertanya jika memang Jenggala tak mau menceritakannya.

“Terkadang cara Tuhan emang menyakitkan banget ya, gal. Tapi aku yakin everything will be fine. Dengan cara yang menyakitkan itu kita jadi belajar dan tau banyak hal. Emang sakit banget sih, kadang mikir kenapa harus gue? dan kenapa ga dengan cara yang lebih halus aja? Dan aku coba untuk nenangin pikiran aku dengan berpikir bahwa aku orang yang kuat, Tuhan kasi aku tantangan sesakit ini karena aku emang hambanya yang kuat. Aku diuji untuk ngebuktiin bahwa aku bisa ngalahin masalah aku. Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita. Bukan kita yang kalah dan membiarkan masalah yang menguasai kita.”

“—Aku berharap banget semua masalah kamu bisa cepet selesai ya, gal. Aku ngerasain kalau kamu itu kuat, kamu cuma perlu seseorang untuk ada di samping kamu disaat pikiran kamu kalut. Untuk ngontrol emosi kamu biar ga lepas kendali. Dan yang bisa jadi tempat kamu bercerita.”

“Dan aku rasa, orang itu kamu, Glad.” Jenggala mengalihkan pandangannya ke arah Gladys, melihat netra yang tulus dan menenangkan pada matanya.

“Hm, kamu bilang apa tadi?”

“Ohh enggak-enggak.” Rupanya tadi Jenggala hanya bergumam sehingga membuat volume suaranya tak terdengar jelas.

“Kamu bener, glad. Aku harus buat masalahku runtuh karena pertahananku, bukan ngebiarin diri aku yang runtuh karena masalahku. Makasi ya”

“Hehe iya. anyway aku dapet kata-kata itu dari sosmed sih. Tepatnya di tiktok dengan username @rakasgxy” Gladys tertawa kecil saat mengatakan apa yang menjadi inspirasinya.

“Ohya? hahahaha. Berarti ga jadi deh gue bilang lo keren, orang rakasgxy yang lebih keren.”

“Ih lo kok gituuu sih.”

“Aduh!” Jenggala memegang lengan atasnya yang dipukul oleh Gladys.

Setelah itu, mereka tertawa lepas. Saling bergurau dan melemparkan segala candaan dengan senyuman.

notes: kata-kata “Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita” itu memang beneran terinspirasi dari tiktok @rakasgxy ya. Tapi sekarang videonya udah gak ada. Jadi aku drop screenshotnya aja ya “!”“(https://i.imgur.com/4MkPfb5.jpg)”

Setelah beberapa saat hanya saling berdiam diri, Gladys mencoba mengelus punggung Jenggala yang ada di sebelahnya. Ia pikir Jenggala akan merasa lebih tenang, namun siapa sangka malah terdapat air yang membendung di matanya. Jenggala menunduk, menutup wajahnya sesaat dan menyisir kasar rambutnya serta meremas keras kepalanya. Emosinya tak tertahankan, benteng kepedihannya pun telah terbuka.

“It's okay, keluarin aja.” Gladys menarik tubuh Jenggala agar bersandar pada pundaknya.

Jenggala menurut, ia bersandar kemudian menenggelamkan wajahnya pada pundak Gladys.

Gladys membiarkannya menangis beberapa saat sembari mengusap surai hitam sampai ke punggungnya. “Pasti berat banget ya? pundak kamu hebat, bisa nampung banyak hal. Sama kayak pemiliknya”

“Kamu tuh hebat karena udah bertahan sejauh ini. Gapapa kalau mau istirahat sebentar, bukan berarti lemah tapi tanda kamu sayang sama diri kamu sendiri untuk diistirahatkan sebelum terus berlari.” Gladys masih terus mengusap punggung Jenggala. Dan Jenggala yang mendengarkan kalimat itu memindahkan tangannya ke pinggang Gladys, dan semakin mengeratkannya.

“K-keluarga gue sekarang terasa b-beda banget.” Jenggala mulai berbicara, meski masih dalam isakan tangisnya.

“Gue kangen, kangen keluarga gue yang lama. K-kangen beliau juga.” Jenggala melepas pelukannya. Ia mengatur napas dan mulai sedikit mengatakan alasan ia menangis. Tidak, ia tidak menceritakan semua secara rinci, masih sulit rasanya untuk menceritakan semua.

Awalnya Gladys bertanya-tanya “Beliau” yang dimaksud oleh Jenggala itu siapa. Namun ia memilih diam, tak ingin banyak bertanya jika memang Jenggala tak mau menceritakannya.

“Terkadang cara Tuhan emang menyakitkan banget ya, gal. Tapi aku yakin everything will be fine. Dengan cara yang menyakitkan itu kita jadi belajar dan tau banyak hal. Emang sakit banget sih, kadang mikir kenapa harus gue? dan kenapa ga dengan cara yang lebih halus aja? Dan aku coba untuk nenangin pikiran aku dengan berpikir bahwa aku orang yang kuat, Tuhan kasi aku tantangan sesakit ini karena aku emang hambanya yang kuat. Aku diuji untuk ngebuktiin bahwa aku bisa ngalahin masalah aku. Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita. Bukan kita yang kalah dan membiarkan masalah yang menguasai kita.”

“—Aku berharap banget semua masalah kamu bisa cepet selesai ya, gal. Aku ngerasain kalau kamu itu kuat, kamu cuma perlu seseorang untuk ada di samping kamu disaat pikiran kamu kalut. Untuk ngontrol emosi kamu biar ga lepas kendali. Dan yang bisa jadi tempat kamu bercerita.”

“Dan aku rasa, orang itu kamu, Glad.” Jenggala mengalihkan pandangannya ke arah Gladys, melihat netra yang tulus dan menenangkan pada matanya.

“Hm, kamu bilang apa tadi?”

“Ohh enggak-enggak.” Rupanya tadi Jenggala hanya bergumam sehingga membuat volume suaranya tak terdengar jelas.

“Kamu bener, glad. Aku harus buat masalahku runtuh karena pertahananku, bukan ngebiarin diri aku yang runtuh karena masalahku. Makasi ya”

“Hehe iya. anyway aku dapet kata-kata itu dari sosmed sih. Tepatnya di tiktok dengan username @rakasgxy” Gladys tertawa kecil saat mengatakan apa yang menjadi inspirasinya.

“Ohya? hahahaha. Berarti ga jadi deh gue bilang lo keren, orang rakasgxy yang lebih keren.”

“Ih lo kok gituuu sih.”

“Aduh!” Jenggala memegang lengan atasnya yang dipukul oleh Gladys.

Setelah itu, mereka tertawa lepas. Saling bergurau dan melemparkan segala candaan dengan senyuman.

*notes: kata-kata “Kita terlalu kuat untuk berakhir disini. Biarlah masalah kita yang kalah lalu pergi karena pertahanan kita” itu memang beneran terinspirasi dari tiktok @rakasgxy ya. Tapi sekarang videonya udah gak ada. Jadi aku drop screenshotnya aja ya “!”“(https://i.imgur.com/4MkPfb5.jpg)”

“Haduh glad, ini kayak mau hujan ga sih? udah ada rintik air yang jatuh.” Seseorang berbisik dari belakang, ia adalah Rika.

“Kayaknya iya deh Rik, udahlah kita liat nanti,” jawab Gladys.

Lima menit kemudian secara tiba-tiba hujan turun cukup deras, membuat seluruh siswa berhamburan mencari tempat teduh. Beberapa siswa berteduh di bawah pohon yang ada pada sisi lapangan, dan banyak juga yang berlarian keluar lapangan menuju sekolah termasuk Gladys. note: jadi lapangan cadangan ini tempatnya beda sama sekolah ya guys

Saat Gladys baru saja keluar dari lapangan, dari arah kanan ada seseorang yang menarik tangannya dan mengajak berteduh pada sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan lapangan, orang itu ialah Jenggala.

“Lo ngapain ngajak gue kesini sih? Gue mau langsung ke sekolah tau, gal”

“Kalo lo langsung ke sekolah pakaian lo makin basah, bahaya juga lari-larian di jalan raya. Lo liat aja tuh rombongan hampir menuhin jalan raya, kalo lo jatuh itu makin bahaya”

Gladys hanya terdiam setelah mendengar alasan Jenggala mengajaknya kemari, kemudian ia berusaha mengganti topik agar Jenggala tidak memojokkan dirinya seorang.

“Lo bolos ya?”

“Bolos upacara doang, udah keliatan mau hujan makanya gue males ikut upacara. Dan liat kan sekarang?”

“Sial, kok malah gue lagi yang dipojokin padahal gue mau mojokin dia,” batinnya nenggerutu.

“Lo pake ini sekarang biar ga dingin.” Jenggala menyerahkan jaketnya kepada Gladys. Saat menyerahkannya pun pandangan Jenggala tak mengarah pada Gladys, melainkan ke arah lain entah kemana.

“Lo tunggu di sini jangan kemana-mana gue mau ambil sesuatu di motor.” Jenggala mengambil kunci motornya dan masuk ke ruang belakang rumah makan tersebut untuk menemui teman-temannya. Sebelum itu ia meminta izin untuk meminjam payung milik Ibu rumah makan untuk ia pakai saat mengambil barang di motor.

“Ada yang bawa mantel ga? gue pinjem dulu, nanti pulangnya gue kembaliin,” tanya Jenggala pada teman-temannya.

“Gue bawa, ambil aja di motor. Nih kuncinya.” Jiendra menyerahkan kunci motornya kepada Jenggala.

“Thanks jie”

“Untuk siapa gal? Lo kan udah bawa mantel,” tanya Naren.

“Gladys, itu orangnya di depan. Ajak ngobrol gih biar ga diem kayak patung di sana,” ajaknya kepada Henzo serta teman-teman.

“Jiakhh sweet banget sih cintaaa,” Henzo berteriak meledeki Jenggala yang sudah berbalik untuk mengambil barang pada motornya yang terparkir pada parkiran lapangan.

“NAJIS LO”


Sehabisnya dari mengambil mantel dan suatu totebag, ia kembali ke ruang belakang menemui Gladys yang sedang mengobrol dengan teman-temannya

“Nih, sekarang lo ganti seragam dan pake seragam gue aja. Habis itu pake mantel gue dan kita langsung ke sekolah.” Jenggala menyerahkan totebag warna cokelat yang berisi seragam putih miliknya kepada Gladys. Dan juga mantel miliknya

note: Jenggala pake mantelnya Jie dan Gladys pake mantelnya Jenggala ya.

“Untuk apa? Gue bisa keringin baju gue di kelas nanti”

Jenggala menarik tangan Gladys ke pojok ruangan dimana letaknya cukup berjarak dengan meja teman-temannya sehingga mereka tidak dapat mendengar pembicaraan Gladys dan Jenggala.

“Ngapain jauh gini sih ngobrolnya? bisa kalik di meja temen-temen lo”

“Seragam lo basah banget, ga mungkin bisa cepet kering. Jadi mending ganti pake punya gue dan di totebag itu udah ada kaos tipis warna putih yang barusan gue beli di minimarket”

“M-maksud lo itu ya...?” Setelah mendengar penjelasan itu, Gladys berpikir bahwa Jenggala memberikan seragamnya karena seragam putih yang basah akan tembus pandang, yang pasti akan membuat Gladys tidak nyaman.

“Udah paham?”

“Makasih banget ya gal”

“Udah sana buruan ganti. Gue tunggu di meja itu.” Jenggala menuntun Gladys ke toilet kemudian menunggunya di meja dekat kamar mandi. ((Lebih tepatnya sih ngejagain biar gak ada orang yang ngetuk kamar mandinya))

“Ishh males banget harus nyari ojek lagi, keluar duit lagi, nunggu lagi.” langkahnya cepat dibarengi dengan langkah kaki yang dihentakkan berkali-kali, tak lupa dengan raut wajah manyun Gladys yang sedang kesal karena Jenggala meninggalkannya di sekolah.

“Emang ya si Jenggala nyebelin banget, kenapa sih cowo kayak gitu didemenin banyak cewe, belom aja tuh gadis gadis gajelas pemuja Jenggala ngalamin hal kayak gue, dicuekin lah, ditinggalin lah, di—

“Kalau pulang tuh di cek dulu barang-barangnya, jangan langsung nyroscos keluar kelas sambil gibahin gue sama angin.” Laki-laki pemilik suara cukup berat dengan rambut sedikit berantakan itu ternyata berada tepat di belakang Gladys, ia sedang membenarkan resleting tas berwarna cokelat milik Gladys.

Gladys sangat terkejut dan dengan cepat membalikkan tubuhnya ke belakang, melihat sosok yang mengagetkannya.

“Ambil apa lo dari tas gue?! Ngaku!”

“Ambil sidik jari lo,” ketusnya sembari berjalan ke arah parkiran meninggalkan Gladys yang masih dengan raut kesalnya.

Motor Jenggala kini berada di depan gerbang, tepat disamping Gladys berdiri. Namun tidak ada pergerakan sedikitpun dari Gladys, sampai Jenggala bertanya...

“Jadi ikut ga lo? Diem-diem aja kayak monyet”

“Monyet mana bisa diem, galaaaaa!” badannya menoleh ke kiri menghadap pada Jenggala, sedikit berteriak kesal dengan guyonan 'tidak jelas' dari Jenggala.

“Oh yang tadi itu bukan monyet, yang sekarang baru bener.” Tatapannya kembali mengarah pada mata Gladys, matanya yang tiba-tiba membulat kaget diikuti dengan pergantian alisnya yang semula berkerut menjadi ikut terangkat.

“Bodoamat lah! Lo pulang aja sana, lo tadi bilang gak mau nganterin gue kan? Terus ngapain lo tadi nungguin gue? Ngefans lo sama gue? Sana pergi, gue bisa pulang sendiri pake ojek!”

“Berisik banget sih, cepet naik dari pada lo sendirian disini dimakan kunti”

Gladys menghentakan kaki kanannya sekali lagi, mengepal kedua tangannya dan mulai menaiki motor Jenggala, tak lupa menunjukkan ekspresi jengkel dengan berbagai ocehan kepada Jenggala. “Lo itu makanya jangan jadi cowo ga jelas, cowo nyebelin, plin plan lagi. Tadinya bilang gamau nganterin gue pulang, sekarang malah nungguin gue. Lo itu— AKKHH!” Tanpa aba-aba Jenggala menjalankan motornya dengan kencang sehingga membuat Gladys terkejut sekaligus sedikit tertarik ke belakang, namun untungnya ia sudah menggenggam jaket kulit yang dikenakan Jenggala sehingga tidak terjatuh.

“Lo bener-bener ya njing ngagetin gue banget, kalo gue jatuh gimana?!” Gladys memukul bahu pelaku di depannya ini.

“Ya maap, sekarang pegangan yang kuat gue mau ngebut”

“GAUSAH NGEBUT! GUE GORENG LO KALO NGEBUT”


Hembusan angin, laju motor yang tak begitu cepat dan Gladys yang sangat kelelahan membuatnya sampai tertidur dalam perjalanan. Tangannya memeluk perut Jenggala dan kepalanya ia sandarkan pada punggung Jenggala. Disaat lampu merah, Jenggala memegang kedua tangan Gladys untuk menjaganya agar tidak terjatuh, selama perjalanan pun tangan kiri Jenggala masih senantiasa memegang kedua tangan milik Gladys yang menyampul pada perutnya. Tujuannya hanya satu, agar gadis itu tidak terjatuh.

“Dys, bangun. Kita udah sampe rumah lo” Jenggala menepuk pelan kepala dan tangan Gladys.

“Loh?! eh m-maaf maaf gue ketiduran disini ya? sorry tadi tuh gue ngantuk banget t-trus gatau kenapa malah mikir lo itu abang gue dan malah nyender di punggung lo”

“Iya santai. Udah sana masuk, lanjut tidurnya di kasur”

“Hehe, makasih banyak ya”

Jenggala hanya mengangguk. “Yaudah kalo gitu gue pulang dulu”

“Hati-hati.” Tanganya melambai pada Jenggala dengan senyum yang sedikit terpaksa, Gladys masih sangat malu dengan kejadian tadi.

“Ishh males banget harus nyari ojek lagi, keluar duit lagi, nunggu lagi.” langkahnya cepat dibarengi dengan langkah kaki yang dihentakkan berkali-kali, tak lupa dengan raut wajah manyun Gladys yang sedang kesal karena Jenggala meninggalkannya di sekolah.

*“Emang ya si Jenggala nyebelin banget, kenapa sih cowo kayak gitu didemenin banyak cewe, belom aja tuh gadis gadis gajelas pemuja Jenggala ngalamin hal kayak gue, dicuekin lah, ditinggalin lah, di—

“Kalau pulang tuh di cek dulu barang-barangnya, jangan langsung nyroscos keluar kelas sambil gibahin gue sama angin.” Laki-laki pemilik suara cukup berat dengan rambut sedikit berantakan itu ternyata berada tepat di belakang Gladys, ia sedang membenarkan resleting tas berwarna cokelat milik Gladys.

Gladys sangat terkejut dan dengan cepat membalikkan tubuhnya ke belakang, melihat sosok yang mengagetkannya.

“Ambil apa lo dari tas gue?! Ngaku!”

“Ambil sidik jari lo,” ketusnya sembari berjalan ke arah parkiran meninggalkan Gladys yang masih dengan raut kesalnya.

Motor Jenggala kini berada di depan gerbang, tepat disamping Gladys berdiri. Namun tidak ada pergerakan sedikitpun pada Gladys, sampai Jenggala bertanya...

“Jadi ikut ga lo? Diem-diem aja kayak monyet”

“Monyet mana bisa diem, galaaaaa!” badannya menoleh ke kiri dimana itu adalah Jenggala, sedikit berteriak kesal dengan guyonan 'tidak jelas' dari Jenggala.

“Oh yang tadi itu bukan monyet, yang sekarang baru bener.” Tatapannya kembali mengarah pada mata Gladys, matanya yang tiba-tiba membulat kaget diikuti dengan pergantian alisnya yang semula berkerut menjadi ikut terangkat.

“Bodoamat lah! Lo pulang aja sana, lo tadi bilang gak mau nganterin gue kan? Terus ngapain lo tadi nungguin gue? Ngefans lo sama gue? Sana pergi, gue bisa pulang sendiri pake ojek!”

“Berisik banget sih, cepet naik dari pada lo sendirian disini dimakan kunti”

Gladys menghentakan kaki kanannya sekali lagi, mengepal kedua tangannya dan mulai menaiki motor Jenggala, tak lupa menunjukkan ekspresi jengkel dengan berbagai ocehan kepada Jenggala. “Lo itu makanya jangan jadi cowo ga jelas, cowo nyebelin, plin plan lagi. Tadinya bilang gamau nganterin gue pulang, sekarang malah nungguin gue. Lo itu— AKKHH!” Dengan tiba-tiba Jenggala menjalankan motornya dengan kencang sehingga membuat Gladys terkejut sekaligus sedikit tertarik ke belakang kemudian dengan cepat menggenggam jaket kulit yang dikenakan Jenggala agar tidak terjatuh.

“Lo bener-bener yaa njing ngagetin gue banget, kalo gue jatuh gimana?!” Gladys memukul bahu pelaku di depannya ini.

“Ya maap, sekarang pegangan yang kuat gue mau ngebut”

“GAUSAH NGEBUT! GUE GORENG LO KALO NGEBUT”


Hembusan angin, laju motor yang tak begitu cepat dan Gladys yang sangat kelelahan membuatnya sampai tertidur dalam perjalanan. Tangannya memeluk perut Jenggala dan kepalanya ia sandarkan pada punggung Jenggala. Disaat lampu merah, Jenggala memegang kedua tangan Gladys untuk menjaga Gladys tidak terjatuh, selama perjalanan pun tangan kiri Jenggala masih senantiasa memegang kedua tangan Gladys yang menyampul pada perutnya.

“Dys, bangun. Kita udah sampe rumah lo” Jenggala menepuk pelan kepala dan tangan Gladys.

“Loh?! eh m-maaf maaf gue ketiduran disini ya? sorry tadi tuh gue ngantuk banget t-trus gatau kenapa malah mikir lo itu abang gue dan malah nyender di punggung lo”

“Iya santai. Udah sana masuk, lanjut tidurnya di kasur”

“Hehe, makasih banyak ya”

Jenggala hanya mengangguk. “Yaudah kalo gitu gue pulang dulu”

“Hati-hati.” Tanganya melambai pada Jenggala dengan senyum yang sedikit terpaksa, Gladys masih sangat malu dengan kejadian tadi.

“Nangis aja kalik, lo juga manusia” suara lantangnya berhasil mengagetkan remaja laki-laki yang sedang memaksakan diri untuk tidak menangis.

“Sejak kapan lo di sana?” Menoleh ke arah gadis yang tadi meneriakinya ternyata berada di belakangnya.

“Lima menit, dan selama itu gue ngeliat lo ngoceh terus ga boleh nangis lah, ga boleh cengeng lah. Ngapain sih lo maksain diri lo untuk ga boleh nangis? lo masih manusia kan? masih hidup kan? hewan aja bisa nangis, apalagi lo”

“Gue cowo, cowo ga—”

“Cowo boleh nangis. Cowo itu manusia, cowo itu ga sempurna, cowo itu punya perasaan, dan cowo wajar untuk menangis” belum usai kalimat yang diucapkan Jenggala, Gladys sudah lebih dulu melanjutkan dengan versinya sendiri.

“Jeng—”

“Gala,” potong Jenggala.

“Oke, Jenggala, lo itu boleh nangis. Lo ga bakal keliatan lemah cuma karena lo nangis, dengan lo nangis itu tandanya lo punya perasaan. Terkadang kita itu harus ngeluarin emosi kita biar ga meluap dan berakhir menyakiti yang ada di sekitar kita termasuk diri kita sendiri. Sama kayak lo nangis, lo ngeluarin emosi biar lo makin kuat, biar wadah yang ada di benak lo itu kosong dan bisa nampung semua emosi lo lagi” “Keluarin aja gal. Feel all your emotions, throw them all away, it's okay to cry, it's okay to be tired. And you can tell me your problems when you're ready”

“Is that okay? Gue ga ngebebanin?” Pandangan yang sebelumnya enggan memandang lawan bicaranya pun perlahan mengarah pada wajah gadis yang tepat berada disampingnya

“Big noooo, don't say that again. Tell me if you want. Cerita aja biar lo lega, ada masalah apa memangnya? pacar lo selingkuh? pacar lo bohong? pacar lo jalan sama cowo lain?” Gladys benar-benar membuka ruang untuk Jenggala menceritakan segala kepedihannya.

“Gue ga punya pacar” “Gue tuh curiga sama om gue, tadi di mall gue liat dia jalan sama wanita lain, dari kemeja yang dia pake juga sama banget. Tapi pas gue ngadu sama tante gue, dia ga percaya. Entah dengan cara apa om gue pinter bikin skenario sebagus itu dan buat semuanya percaya sama dia. Jujur gue capek glad liat om gue ngedrama terus. Ini udh kali ketiga gue curiga dia selingkuh, tapi orang rumah gak ada yang percaya sama gue. Gue capek”

Ia menceritakan permasalahan yang terjadi hari ini padanya, menceritakan segala perasaan muak dan kesabaran yang hampir melewati batas. Baru kali ini ia merasa yakin bercerita pada seseorang yang bahkan masih disebut hanya sekedar 'teman'.

“Jenggala.. gue turut sedih sama apa yang lo alami, gue juga benci banget sama perselingkuhan dan kalau om lo beneran selingkuh gue harap dia bisa cepet ketahuan ya” “Berarti sekarang lo harus lebih hati-hati gal, lo harus lebih teliti dan siapin alat untuk save barang bukti yang lo liat. Life is a bastard, but I'm sure there will be a phase where life will make you feel perfect”

Gladys, tatapannya mengarah pada langit malam, sesekali menoleh pada manik Jenggala. Sosok gadis yang tak pernah menyangka bahwa Jenggala memiliki permasalahan seperti ini, sosok gadis yang dulu sering berfikir bahwa Jenggala hanya remaja laki-laki nakal, dan hanya memiliki permasalahan biasa pada keluarganya.

Namun kini ia ingin merubah pikirannya. Jenggala tak hanya sekedar remaja laki-laki nakal tapi ia juga laki-laki kuat. “Mungkin gue harus kenal Jenggala lebih jauh sebelum berasumsi yang macem-macem,” batinnya.

“Gue bakal bantu semua rencana lo untuk buktiin tentang perselingkuhan om lo itu,”

“Enggak usah, biar gue sendiri yang nanganin. Pokoknya lo jangan pernah diem-diem ikut rencana gue, lo cukup jadi temen yang dengerin gue curhat aja,” ucapnya dengan tempo cepat dan penuh penekanan.

“K-kenapa..?” Mata Gladys membulat dengan ekspresi bertanya-tanya, padahal ia berniat baik namun mengapa ditolak oleh Jenggala?

“Gue ga mau lo berkaitan sama masalah gue ini dan malah bikin lo celaka” Nadanya memelan.


Hening. Hanya suara angin dan dinginnya malam yang mengelilingi keduanya. Sampai salah satu dari mereka kembali membuka suara.

“Lo udah ngerasa lebih lega, belum? makasih udah percayain gue sebagai tempat cerita lo.” Tangannya mengusap pelan punggung Jenggala dibarengi dengan meronggahkan senyuman ke arahnya.

“Makasih banyak. You made my day, glad”

Malam itu menjadi hari pertama dimana Jenggala dapat tersenyum penuh ketulusan, dan itu mengarah pada lawan bicaranya.

“Nangis aja kalik, lo juga manusia” suara lantangnya berhasil mengagetkan remaja laki-laki yang sedang memaksakan diri untuk tidak menangis.

“Sejak kapan lo di sana?” Menoleh ke arah gadis yang tadi meneriakinya ternyata berada di belakangnya.

“Lima menit, dan selama itu gue ngeliat lo ngoceh terus ga boleh nangis lah, ga boleh cengeng lah. Ngapain sih lo maksain diri lo untuk ga boleh nangis? lo masih manusia kan? masih hidup kan? hewan aja bisa nangis, apalagi lo”

“Gue cowo, cowo ga—”

“Cowo boleh nangis. Cowo itu manusia, cowo itu ga sempurna, cowo itu punya perasaan, dan cowo wajar untuk menangis” belum usai kalimat yang diucapkan Jenggala, Gladys sudah lebih dulu melanjutkan dengan versinya sendiri.

“Jeng—”

“Gala,” potong Jenggala.

“Oke, Jenggala, lo itu boleh nangis. Lo ga bakal keliatan lemah cuma karena lo nangis, dengan lo nangis itu tandanya lo punya perasaan. Terkadang kita itu harus ngeluarin emosi kita biar ga meluap dan berakhir menyakiti yang ada di sekitar kita termasuk diri kita sendiri. Sama kayak lo nangis, lo ngeluarin emosi biar lo makin kuat, biar wadah yang ada di benak lo itu kosong dan bisa nampung semua emosi lo lagi” “Keluarin aja gal. Feel all your emotions, throw them all away, it's okay to cry, it's okay to be tired. And you can tell me your problems when you're ready”

“Is that okay? Gue ga ngebebanin?” Pandangan yang sebelumnya enggan memandang lawan bicaranya pun perlahan mengarah pada wajah gadis yang tepat berada disampingnya

“Big noooo, don't say that again. Tell me if you want. Cerita aja biar lo lega, ada masalah apa memangnya? pacar lo selingkuh? pacar lo bohong? pacar lo jalan sama cowo lain?” Gladys benar-benar membuka ruang untuk Jenggala menceritakan segala kepedihannya.

“Gue ga punya pacar” “Gue tuh curiga sama om gue, tadi di mall gue liat dia jalan sama wanita lain, dari kemeja yang dia pake juga sama banget. Tapi pas gue ngadu sama tante gue, dia ga percaya. Entah dengan cara apa om gue pinter bikin skenario sebagus itu dan buat semuanya percaya sama dia. Jujur gue capek glad liat om gue ngedrama terus. Ini udh kali ketiga gue curiga dia selingkuh, tapi orang rumah gak ada yang percaya sama gue. Gue capek”

Ia menceritakan permasalahan yang terjadi hari ini padanya, menceritakan segala perasaan muak dan kesabaran yang hampir melewati batas. Baru kali ini ia merasa yakin bercerita pada seseorang yang bahkan masih disebut hanya sekedar 'teman'.

“Jenggala.. gue turut sedih sama apa yang lo alami, gue juga benci banget sama perselingkuhan dan kalau om lo beneran selingkuh gue harap dia bisa cepet ketahuan ya” “Berarti sekarang lo harus lebih hati-hati gal, lo harus lebih teliti dan siapin alat untuk save barang bukti yang lo liat. Life is a bastard, but I'm sure there will be a phase where life will make you feel perfect”

Gladys, tatapannya mengarah pada langit malam, sesekali menoleh pada manik Jenggala. Sosok gadis yang tak pernah menyangka bahwa Jenggala memiliki permasalahan seperti ini, sosok gadis yang dulu sering berfikir bahwa Jenggala hanya remaja laki-laki nakal, dan hanya memiliki permasalahan biasa pada keluarganya.

Namun kini ia ingin merubah pikirannya. Jenggala tak hanya sekedar remaja laki-laki nakal tapi ia juga laki-laki kuat. “Mungkin gue harus kenal Jenggala lebih jauh sebelum berasumsi yang macem-macem,” batinnya.

“Gue bakal bantu semua rencana lo untuk buktiin tentang perselingkuhan om lo itu,”

“Enggak usah, biar gue sendiri yang nanganin. Pokoknya lo jangan pernah diem-diem ikut rencana gue, lo cukup jadi temen yang dengerin gue curhat aja,” ucapnya dengan tempo cepat dan penuh penekanan.

“K-kenapa..?” Mata Gladys membulat dengan ekspresi bertanya-tanya, padahal ia berniat baik namun mengapa ditolak oleh Jenggala?

“Gue ga mau lo berkaitan sama masalah gue ini dan malah bikin lo celaka” Nadanya memelan.

___

Hening. Hanya suara angin dan dinginnya malam yang mengelilingi keduanya. Sampai salah satu dari mereka kembali membuka suara.

“Lo udah ngerasa lebih lega, belum? makasih udah percayain gue sebagai tempat cerita lo.” Tangannya mengusap pelan punggung Jenggala dibarengi dengan meronggahkan senyuman ke arahnya.

“Makasih banyak. You made my day, glad”

Malam itu menjadi hari pertama dimana Jenggala dapat tersenyum penuh ketulusan, dan itu mengarah pada lawan bicaranya.

“Nangis aja kalik, lo juga manusia” suara lantangnya berhasil mengagetkan remaja laki-laki yang sedang memaksakan dirinya untuk tidak menangis.

“Sejak kapan lo di sana?” Menoleh ke arah gadis yang tadi meneriakinya ternyata berada di belakangnya.

“Lima menit, dan selama itu gue ngeliat lo ngoceh terus ga boleh nangis lah, ga boleh cengeng lah. Ngapain sih lo maksain diri lo untuk ga boleh nangis? lo masih manusia kan? masih hidup kan? hewan aja bisa nangis, apalagi lo”

“Gue cowo, cowo ga—”

“Cowo boleh nangis. Cowo itu manusia, cowo itu ga sempurna, cowo itu punya perasaan, dan cowo wajar untuk menangis” belum usai kalimat yang diucapkan Jenggala, Gladys sudah lebih dulu melanjutkan dengan versinya sendiri.

“Jeng—”

“Gala,” potong Jenggala.

“Oke, Jenggala, lo itu boleh nangis. Lo ga bakal keliatan lemah cuma karena lo nangis, dengan lo nangis itu tandanya lo punya perasaan. Terkadang kita itu harus ngeluarin emosi kita biar ga meluap dan berakhir menyakiti yang ada di sekitar kita termasuk diri kita sendiri. Sama kayak lo nangis, lo ngeluarin emosi lo itu biar lo makin kuat, biar wadah yang ada di benak lo itu kosong dan mampu menampung segala emosi lo lagi” “Keluarin aja gal. Feel all your emotions, throw them all away, it's okay to cry, it's okay to be tired. You can tell me when you're ready”

“Gapapa? Gue ga ngebebanin?” Pandangan Jenggala yang sebelumnya enggan memandang lawan bicaranya pun perlahan mengarah pada wajah gadis yang tepat ada disampingnya

“Big noooo, don't say that again. Tell me if you want. Cerita aja biar lo lega, ada masalah apa memangnya? pacar lo selingkuh? pacar lo bohong? pacar lo jalan sama cowo lain?” Gladys benar-benar membuka ruang untuk Jenggala menceritakan segala kepedihannya.

“Gue ga punya pacar” “Gue tuh curiga sama om gue, tadi di mall gue liat dia jalan sama wanita lain, dari kemeja yang dia pake juga sama banget. Tapi pas gue ngadu sama tante gue, dia ga percaya. Entah dengan cara apa om gue pinter bikin skenario sebagus itu dan buat semuanya percaya sama dia. Jujur gue capek glad liat om gue ngedrama terus. Ini udh kali ketiga gue curiga dia selingkuh, tapi orang rumah gaada yang percaya sama gue. Gue capek”

Ia menceritakan permasalahan yang terjadi hari ini padanya, menceritakan segala perasaan muak dan kesabaran yang hampir melewati batas. Baru kali ini ia merasa yakin bercerita pada seseorang yang bahkan masih disebut hanya sekedar 'teman'.

“Jenggala.. gue turut sedih sama apa yang lo alami, gue juga benci banget sama perselingkuhan dan kalau om lo beneran selingkuh gue harap dia bisa cepet ketahuan ya” “Berarti sekarang lo harus lebih hati-hati gal, lo harus lebih teliti dan siapin alat untuk save barang bukti yang lo liat. Life is a bastard but I'm sure there will be a phase where life will make you feel perfect”

Gladys, tatapannya mengarah pada langit malam, sesekali menoleh pada manik Jenggala. Sosok gadis yang tak pernah menyangka bahwa Jenggala memiliki permasalahan seperti ini, sosok gadis yang dulu sering berfikir bahwa Jenggala hanya remaja laki-laki nakal, dan hanya memiliki permasalahan biasa pada keluarganya.

Namun kini ia ingin merubah pikirannya. Jenggala tak hanya sekedar remaja laki-laki nakal tapi ia juga laki-laki kuat. “Mungkin aku harus kenal Jenggala lebih jauh sebelum berasumsi yang macam-macam,” batinnya.

“Gue bakal bantu semua rencana lo untuk buktiin tentang perselingkuhan om lo itu,”

“Enggak usah, biar gue sendiri yang nanganin. Pokoknya lo jangan pernah diem-diem ikut rencana gue, lo cukup jadi temen yang dengerin gue curhat aja,” ucapnya dengan begitu cepat dan sangat penuh penekanan.

“K-kenapa..?” Mata Gladys membulat dengan ekspresi bertanya-tanya, padahal ia berniat baik namun mengapa ditolak oleh Jenggala?

“Gue ga mau lo berkaitan sama masalah gue ini dan malah bikin lo celaka” Nadanya memelan.

___

Hening. Hanya suara angin dan dinginnya malam yang mengelilingi keduanya. Sampai salah satu dari mereka kembali membuka suara.

“Lo udah ngerasa lebih lega, belum? makasih udah percayain gue sebagai tempat cerita lo.” Tangannya mengusap pelan punggung Jenggala dibarengi dengan meronggahkan senyuman ke arahnya.

“Makasih banyak. You made my day, glad”

Malam itu menjadi hari pertama dimana Jenggala dapat tersenyum penuh ketulusan, dan itu mengarah pada lawan bicaranya.

“Nangis aja kalik, lo juga manusia” suara lantangnya berhasil mengagetkan remaja laki-laki yang sedang memaksakan dirinya untuk tidak menangis.

“Sejak kapan lo di sana?” Menoleh ke arah gadis yang tadi meneriakinya ternyata berada di belakangnya.

“Lima menit, dan selama itu gue ngeliat lo ngoceh terus ga boleh nangis lah, ga boleh cengeng lah. Ngapain sih lo maksain diri lo untuk ga boleh nangis? lo masih manusia kan? masih hidup kan? hewan aja bisa nangis, apalagi lo”

“Gue cowo, cowo ga—”

“Cowo boleh nangis. Cowo itu manusia, cowo itu ga sempurna, cowo itu punya perasaan, dan cowo wajar untuk menangis” belum usai kalimat yang diucapkan Jenggala, Gladys sudah lebih dulu melanjutkan dengan versinya sendiri.

“Jeng—”

“Gala,” potong Jenggala.

“Oke, Jenggala, lo itu boleh nangis. Lo ga bakal keliatan lemah cuma karena lo nangis, dengan lo nangis itu tandanya lo punya perasaan. Terkadang kita itu harus ngeluarin emosi kita biar ga meluap dan berakhir menyakiti yang ada di sekitar kita termasuk diri kita sendiri. Sama kayak lo nangis, lo ngeluarin emosi lo itu biar lo makin kuat, biar wadah yang ada di benak lo itu kosong dan mampu menampung segala emosi lo lagi” “Keluarin aja gal. Feel all your emotions, throw them all away, it's okay to cry, it's okay to be tired. You can tell me when you're ready”

“Gapapa? Gue ga ngebebanin?” Pandangan Jenggala yang sebelumnya enggan memandang lawan bicaranya pun perlahan mengarah pada wajah gadis yang tepat ada disampingnya

“Big noooo, don't say that again. Tell me if you want. Cerita aja biar lo lega, ada masalah apa memangnya? pacar lo selingkuh? pacar lo bohong? pacar lo jalan sama cowo lain?” Gladys benar-benar membuka ruang untuk Jenggala menceritakan segala kepedihannya.

“Gue ga punya pacar” “Gue tuh curiga sama om gue, tadi di mall gue liat dia jalan sama wanita lain, dari kemeja yang dia pake juga sama banget. Tapi pas gue ngadu sama tante gue, dia ga percaya. Entah dengan cara apa om gue pinter bikin skenario sebagus itu dan buat semuanya percaya sama dia. Jujur gue capek glad liat om gue ngedrama terus. Ini udh kali ketiga gue curiga dia selingkuh, tapi orang rumah gaada yang percaya sama gue. Gue capek”

Ia menceritakan permasalahan yang terjadi hari ini padanya, menceritakan segala perasaan muak dan kesabaran yang hampir melewati batas. Baru kali ini ia merasa yakin bercerita pada seseorang yang bahkan masih disebut hanya sekedar 'teman'.

“Jenggala.. gue turut sedih sama apa yang lo alami, gue juga benci banget sama perselingkuhan dan kalau om lo beneran selingkuh gue harap dia bisa cepet ketahuan ya” “Berarti sekarang lo harus lebih hati-hati gal, lo harus lebih teliti dan siapin alat untuk save barang bukti yang lo liat. Life is a bastard but I'm sure there will be a phase where life will make you feel perfect”

Gladys, tatapannya mengarah pada langit malam, sesekali menoleh pada manik Jenggala. Sosok gadis yang tak pernah menyangka bahwa Jenggala memiliki permasalahan seperti ini, sosok gadis yangr dulu sering berfikir bahwa Jenggala hanya remaja laki-laki nakal, dan hanya memiliki permasalahan biasa pada keluarganya.

Namun kini ia merubah pikirannya. Jenggala tak hanya sekedar remaja laki-laki nakal tapi ia juga laki-laki kuat. “Mungkin aku harus kenal Jenggala lebih jauh sebelum berasumsi yang macam-macam” batinnya.

“Gue bantu ya gal? Gue bantu semua rencana lo untuk tangkep basah om lo itu,” Gladys menawarkan bantuannya. Terlihat dari bahunya yang menjadi lebih tinggi karena bersemangat ingin membantu Jenggala.

“Enggak usah, biar gue sendiri yang nanganin. Pokoknya lo jangan pernah diem-diem ikut rencana gue, lo cukup jadi temen yang dengerin gue curhat aja,” ucapan Jenggala jadi begitu cepat dan sangat penuh penekanan pada kata “Enggak” dan “Jangan”

“Kenapa..?” Matanya membulat dengan ekspresi bertanya-tanya, padahal ia berniat baik namun mengapa ditolak oleh Jenggala?

“Gue ga mau lo berkaitan sama masalah gue ini dan bikin lo celaka” Nadanya memelan.

Sunyi. Tak ada lagi suara yang keluar, hanya ada suara suara jangkrik dan angin yang mengelilingi mereka sampai...

“Lo udah ngerasa lebih lega, belum? makasih udah percayain gue sebagai tempat cerita lo” tangannya mengusap punggung Jenggala pelan dibarengi dengan meronggahkan senyuman ke arahnya.

“Makasih banyak. You made my day” Jenggala tersenyum pada lawan biacaranya.