jncoretanarin

“Gimana? ada gak?”

“Gaada, bahkan gue udah cari sampe pintu keluar tapi gue ga ngeliat om lo”

*“Sialan, padahal dari sebelum filmnya selesai kita udah stay di deket pintu teater”*

Jenggala mengacak rambutnya kesal sebab tak dapat menemukan keberadaan Om Evan dan sosok wanita yang bersamanya. Ia belum mau berputus asa, ia sangat amat yakin jika Evan memang bersama wanita lain di mall tersebut.

Henzo melihat Jenggala menghidupkan handphone dan mencari sesuatu di ruang obrolan iMessagenya. “Lo mau ngapain?”

“Gue mau nelpon Om Evan, gue harus tau dia dimana. Setidaknya gue bisa denger keadaan sekitarnya, kalo gue denger ada suara bising kayak di jalan raya berarti dia baru aja balik dari sini,” jelasnya.

“Om dimana?” kalimat pertama yang tertuang pada percakapan awal setelah panggilannya diterima oleh Evan.

*“Om di kantor, ini baru aja habis meeting. Ada apa tumben banget kamu nanyain om?”* yang ditanyapun menjawab dengan suara tenang.

“Om tadi kemana?”

“Om sedari tadi memang di kantor saja”

“Saya tau anda tadi di mall bersama wanita lain, kan?” Jenggala benar benar menekankan kata-katanya.

“Ngelantur banget kamu. Kamu ga percaya sama Om? mau video call?”

Evan sungguh-sungguh mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video untuk membuat Jenggala merasa yakin. Jenggala pun tak menolak, ia menerima panggilan video tersebut.

“Bagaimana? kamu masih ngira om di mall? liat kan sekarang om lagi kerja keras di kantor, gak kayak kamu yang main terus sama temen-temen ga jelas kamu itu”

Mendengar ucapan Evan itu, Jenggala langsung menutup panggilan video tersebut.

Jenggala memukul tembok yang ada dihadapannya berkali-kali dan meluapkan amarahnya.

“Arghh! kenapa bisa dia lagi di kantor. Padahal yang gue liat tadi itu emang persis banget kayak Om Evan.”

Jenggala berteriak kesal, ia sungguh marah pada dirinya sendiri karena tidak dapat membuktikan apa yang ia lihat. Ia bukan ingin hubungan paman & bibinya hancur, tapi sebelum inipun keluarganya memang sudah berantakan dan ia tak ingin bibinya semakin jatuh terlalu dalam.

“Udah udah. Mending sekarang kita pulang dulu, atau ke basecamp. lo harus tenangin pikiran lo.” Rendi membujuknya, mengajak Jenggala dan teman-teman yang lain untuk bergegas pulang.

“Gimana? ada gak?”

“Gaada, bahkan gue udah cari sampe pintu keluar tapi gue ga ngeliat om lo”

*“Sialan, padahal dari sebelum filmnya selesai kita udah stay di deket pintu teater.”*

Jenggala mengacak rambutnya kesal sebab tak dapat menemukan keberadaan Om Evan dan sosok wanita yang bersamanya. Ia belum mau berputus asa, ia sangat amat yakin jika Evan memang bersama wanita lain di mall tersebut.

Henzo melihat Jenggala menghidupkan handphone dan mencari sesuatu di ruang obrolan iMessagenya. “Lo mau ngapain?”

“Gue mau nelpon Om Evan, gue harus tau dia dimana. Setidaknya gue bisa denger keadaan sekitarnya, kalo gue denger ada suara bising kayak di jalan raya berarti dia baru aja balik dari sini,” jelasnya.

“Om dimana?” kalimat pertama yang tertuang pada percakapan awal setelah panggilannya diterima oleh Evan.

*“Om di kantor, ini baru aja habis meeting. Ada apa tumben banget kamu nanyain om?”* yang ditanyapun menjawab dengan suara tenang.

“Om tadi kemana?”

“Om sedari tadi memang di kantor saja”

“Saya tau anda tadi di mall bersama wanita lain, kan?” Jenggala benar benar menekankan kata-katanya.

“Ngelantur banget kamu. Kamu ga percaya sama Om? mau video call?”

Evan sungguh-sungguh mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video untuk membuat Jenggala merasa yakin. Jenggala pun tak menolak, ia menerima panggilan video tersebut.

“Bagaimana? kamu masih ngira om di mall? liat kan sekarang om lagi kerja keras di kantor, gak kayak kamu yang main terus sama temen-temen ga jelas kamu itu”

Mendengar ucapan Evan itu, Jenggala langsung menutup panggilan video tersebut.

Jenggala memukul tembok yang ada dihadapannya berkali-kali dan meluapkan amarahnya.

“Arghh! kenapa bisa dia lagi di kantor. Padahal yang gue liat tadi itu emang persis banget kayak Om Evan.”

Jenggala berteriak kesal, ia sungguh marah pada dirinya sendiri karena tidak dapat membuktikan apa yang ia lihat. Ia bukan ingin hubungan paman & bibinya hancur, tapi sebelum inipun keluarganya memang sudah berantakan dan ia tak ingin bibinya semakin jatuh terlalu dalam.

“Udah udah. Mending sekarang kita pulang dulu, atau ke basecamp. lo harus tenangin pikiran lo.” Rendi membujuknya, mengajak Jenggala dan teman-teman yang lain untuk bergegas pulang.

“Gimana? ada gak?”

“Gaada, bahkan gue udah cari sampe pintu keluar tapi gue ga ngeliat om lo”

*“Sialan, padahal dari sebelum filmnya selesai kita udah stay di deket pintu teater.”*

Jenggala mengacak rambutnya kesal sebab tak dapat menemukan Om Evan dan sosok wanita yang bersamanya. Ia belum mau berputus asa, ia sangat amat yakin jika Evan memang bersama wanita lain di mall tersebut.

Henzo melihat Jenggala menghidupkan handphone dan mencari sesuatu di ruang obrolan iMessnya. “Lo mau ngapain?”

“Gue mau nelpon Om Evan, gue harus tau dia dimana. Setidaknya gue bisa denger keadaan sekitarnya, kalo gue denger ada suara bising kayak di jalan raya berarti dia baru aja balik dari sini,” jelasnya.

“Om dimana?” kalimat pertama yang tertuang pada percakapan awal setelah panggilannya diterima oleh Evan. “Om di kantor, ini baru aja habis meeting. Ada apa tumben banget kamu nanyain om?” yang ditanyapun menjawab dengan suara tenang. “Om tadi kemana?” “Om sedari tadi memang di kantor saja” “Saya tau anda tadi di mall bersama wanita lain, kan?” Jenggala benar benar menekankan kata-katanya. “Kamu ngomong apa sih? kamu ga percaya sama Om? mau video call?” Evan sungguh-sungguh mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video untuk membuat Jenggala merasa yakin. Jenggala pun tak menolak, ia menerima panggilan video tersebut.

“Bagaimana? kamu masih ngira om di mall? liat kan sekarang om lagi kerja keras di kantor, gak kayak kamu yang main terus sama temen-temen ga jelas kamu itu”

Mendengar ucapan Evan itu, Jenggala langsung menutup panggilan video tersebut.

Jenggala memukul tembok yang ada dihadapannya, meluapkan semua emosinya. “Arghh! kenapa bisa sekarang dia lagi di kantor. Sedangkan yang tadi gue liat itu emang sama persis kayak Om Evan.”

“Udah gal mending sekarang kita pulang dulu, atau ke basecamp. lo harus tenangin pikiran lo.” Rendi membujuknya, mengajak Jenggala dan teman-teman yang lain untuk bergegas pulang.

“Gimana? ada gak?”

“Gaada, bahkan gue udah cek sampe pintu keluar tapi gaada juga”

“Sialan, padahal dari sebelum filmnya selesai kita udah stay di deket pintu teater.”

Jenggala mengacak rambutnya kesal sebab tak dapat menemukan Om Evan dan sosok wanita yang bersamanya. Ia belum mau berputus asa, ia sangat amat yakin jika Evan memang bersama wanita lain di mall tersebut.

Henzo melihat Jenggala menghidupkan handphone dan mencari sesuatu di ruang obrolan iMessnya. “Lo mau ngapain?”

“Gue mau nelpon Om Evan, gue harus tau dia dimana. Setidaknya gue bisa denger keadaan sekitarnya, kalo gue denger ada suara bising kayak di jalan raya berarti dia baru aja balik dari sini,” jelasnya.

“Om dimana?” kalimat pertama yang tertuang pada percakapan awal setelah panggilannya diterima oleh Evan. “Om di kantor, ini baru aja habis meeting. Ada apa tumben banget kamu nanyain om?” yang ditanyapun menjawab dengan suara tenang. “Om tadi kemana?” “Om sedari tadi memang di kantor saja” “Saya tau anda tadi di mall bersama wanita lain, kan?” Jenggala benar benar menekankan kata-katanya. “Kamu ngomong apa sih? kamu ga percaya sama Om? mau video call?” Evan sungguh-sungguh mengalihkan panggilannya menjadi panggilan video untuk membuat Jenggala merasa yakin. Jenggala pun tak menolak, ia menerima panggilan video tersebut.

“Bagaimana? kamu masih ngira om di mall? liat kan sekarang om lagi kerja keras di kantor, gak kayak kamu yang main terus sama temen-temen ga jelas kamu itu”

Mendengar ucapan Evan itu, Jenggala langsung menutup panggilan video tersebut.

Jenggala memukul tembok yang ada dihadapannya, meluapkan semua emosinya. “Arghh! kenapa bisa sekarang dia lagi di kantor. Sedangkan yang tadi gue liat itu emang sama persis kayak Om Evan.”

“Udah gal mending sekarang kita pulang dulu, atau ke basecamp. lo harus tenangin pikiran lo.” Rendi membujuknya, mengajak Jenggala dan teman-teman yang lain untuk bergegas pulang.

Jenggala berjalan ke ruang makan, berniat mengambil makanan, lalu Fani Haristya yang tak lain adalah Ibunda dari Jenggala melihat sesuatu yang janggal pada wajah anak laki-lakinya tersebut.

“Loh, ini kenapa muka kamu kayak ada memarnya? Kenapa Bunda baru tau?”

“Dia sempat berantem sama preman waktu itu, makanya sampe memar,” jawab pria berbadan tegap bernama Evan Wijaya yang tak lain ialah paman dari Jenggala.

“Kamu tau darimana? Gala kenapa bisa berantem?” Ibunda Jenggala langsung menoleh kearah Evan.

“Waktu itu ak—” lagi-lagi Jenggala tak sempat menjelaskan dan langsung disambung oleh Evan.

“Ada temen cewe Gala yang nekat ke rumah Jonathan, dan kamu tau apa yang dilakukan anak kamu? Dia minum-minum di sana. Terus cewe itu ke rumah Jonathan untuk berusaha ngebuang minuman yang bakal diminum Gala, tapi entarnya malah dia yang dijahatin sama preman. Untung Gala dateng dan berantem sama preman itu, walaupun tetep aja temennya Gala harus masuk rumah sakit karena kepalanya kebentur tembok waktu ngelawan salah satu preman disana. Aku tau karena waktu itu aku yang liat Jenggala pulang tengah malem dengan muka lebam, dan aku suruh dia jelasin semuanya,” Evan menjelaskannya dengan cukup rinci. Ditambah dengan raut wajah yang mengintimidasi ke arah Jenggala.

“JENGGALA! siapa yang ngajarin kamu minum-minum kayak gitu?! Kamu sering keluyuran untuk mabok-mabokan ya?!” kedua tangan Fani mencengkeram pundak Jenggala membuat yang ditanya bergetar.

Marah, sungguh marah yang Fani rasakan saat mengetahui kelakuan anaknya yang masih belia sudah berani bertingkah kelewatan.

“Jangan lupa temennya jadi celaka juga karena peduli sama dia,” smirk itu tersimpul pada wajah Evan yang berada di pojok belakang Fani, dan mengarahkan tatapan tajamnya pada Jenggala.

“Kamu masih kecil gini udah ngebahayain nyawa orang ya, kenapa sih kamu lagi-lagi bikin orang celaka? kenapa kamu ga bisa nurut sama Bunda? sama Om kamu, sama Tante kamu?!”

“Bund, tapi Gala sama sekali ga ada niat bahayain temen Gala. Bahkan Gala bener-bener khawatir waktu tau dia dikejar sama preman. Gala ga ada ni—”

“Coba aja kamu ga minum, coba aja kamu nggak ke rumah si Jonathan temen kamu itu yang usianya jauh lebih dewasa dari kamu, pasti temen cewe kamu nggak bakal kesana dan juga ga bakal celaka. Ya kan Fan?” Lagi dan lagi, Evan memotong penjelasan Jenggala dengan amarahnya.

“Ini ada apa sih? aku baru dateng udah denger ada yang marah-marah. Siapa yang berulah?” Wanita dengan tas belanja di tangannya memasuki ruang makan, melihat keluarganya sedang berdebat. Ia adalah Ratna, kakak perempuan dari Fani sekaligus Bibi dari Jenggala.

“Tanya aja tuh sama ponakan mba, dia habis bikin orang celaka karena ngekhawatirin dia yang minum-minum bareng temennya.” Netranya menunjuk ke arah Jenggala yang masih tertunduk diam.

Kemudian Fani meninggalkan ruang makan beserta Jenggala dan yang lainnya. “Udahlah aku mau ke kamar aja. Pusing”

“GALA?! Bener kamu celakain anak orang?!” Pertanyaan kembali muncul, pertanyaan yang sama dengan nada tinggi yang sama oleh orang yang berbeda.

“Sayang, udah-udah mending sekarang kita ke kamar, biar aku aja yang jelasin di kamar.” Evan mengelus pundak istrinya, mencoba meredakan amarah Ratna dan menuntunnya ke kamar pergi meninggalkan Jenggala seorang diri di ruang makan.

Kedua tangan Jenggala mengepal kuat untuk menahan emosinya, ia sangat kehilangan akal dengan semua masalah ini. Ingin sekali ia menyalurkan pedihnya, bahkan rasa lapar yang sedari tadi menggrogoti hilang entah kemana. Ia benar-benar hampir muak dengan keadaan tempat yang orang-orang sebut rumah ini.

Jenggala berjalan ke ruang makan, berniat mengambil makanan, lalu Fani Haristya yang tak lain adalah Ibunda dari Jenggala melihat sesuatu yang janggal pada wajah anak laki-lakinya tersebut.

“Loh, ini kenapa muka kamu kayak ada lebamnya? Kenapa Bunda baru tau?”

“Dia sempat berantem sama preman waktu itu, makanya lebam,” jawab pria berbadan tegap bernama Evan Wijaya yang tak lain ialah paman dari Jenggala.

“Kamu tau darimana? Gala kenapa bisa berantem?” Ibunda Jenggala langsung menoleh kearah Evan.

“Waktu itu ak—” lagi-lagi Jenggala tak sempat menjelaskan dan langsung disambung oleh Evan.

“Ada temen cewe Gala yang nekat ke rumah Jonathan, dan kamu tau apa yang dilakukan anak kamu? Dia minum-minum di sana. Terus cewe itu ke rumah Jonathan untuk berusaha ngebuang minuman yang bakal diminum Gala, tapi entarnya malah dia yang dijahatin sama preman. Untung Gala dateng, walaupun tetep aja temennya Gala harus masuk rumah sakit karena kepalanya kebentur tembok waktu ngelawan salah satu preman disana. Aku tau karena waktu itu aku yang liat Jenggala pulang tengah malem dengan muka lebam, dan aku suruh dia jelasin semuanya,” Evan menjelaskannya dengan cukup rinci. Ditambah dengan raut wajah yang mengintimidasi ke arah Jenggala.

“JENGGALA! siapa yang ngajarin kamu minum-minum kayak gitu?! Kamu sering keluyuran untuk mabok-mabokan ya?!” kedua tangan Fani mencengkeram pundak Jenggala membuat yang ditanya bergetar.

Marah, sungguh marah yang Fani rasakan saat mengetahui kelakuan anaknya yang masih belia sudah berani bertingkah kelewatan.

“Jangan lupa temennya jadi celaka juga karena peduli sama dia,” smirk itu tersimpul pada wajah Evan yang berada di pojok belakang Fani, dan mengarahkan tatapan tajamnya pada Jenggala.

“Kamu masih kecil gini udah ngebahayain nyawa orang ya, kenapa sih kamu lagi-lagi bikin orang celaka? kenapa kamu ga bisa nurut sama Bunda? sama Om kamu, sama Tante kamu?!”

“Bund, tapi Gala sama sekali ga ada niat bahayain temen Gala. Bahkan Gala bener-bener khawatir waktu tau dia dikejar sama preman. Gala ga ada ni—”

“Coba aja kamu ga minum, coba aja kamu nggak ke rumah si Jonathan temen kamu itu yang usianya jauh lebih dewasa dari kamu, pasti temen cewe kamu nggak bakal kesana dan juga ga bakal celaka. Ya kan Fan?” Lagi dan lagi, Evan memotong penjelasan Jenggala dengan amarahnya.

“Ini ada apa sih? aku baru dateng udah denger ada yang marah-marah. Siapa yang berulah?” Wanita dengan tas belanja di tangannya memasuki ruang makan, melihat keluarganya sedang berdebat. Ia adalah Ratna, kakak perempuan dari Fani sekaligus Bibi dari Jenggala.

“Tanya aja tuh sama ponakan mba, dia habis bikin orang celaka karena ngekhawatirin dia yang minum-minum bareng temennya.” Netranya menunjuk ke arah Jenggala yang masih tertunduk diam.

Kemudian Fani meninggalkan ruang makan beserta Jenggala dan yang lainnya. “Udahlah aku mau ke kamar aja. Pusing”

“GALA?! Bener kamu celakain anak orang?!” Pertanyaan kembali muncul, pertanyaan yang sama dengan nada tinggi yang sama oleh orang yang berbeda.

“Sayang, udah-udah mending sekarang kita ke kamar, biar aku aja yang jelasin di kamar.” Evan mengelus pundak istrinya, mencoba meredakan amarah Ratna dan menuntunnya ke kamar pergi meninggalkan Jenggala seorang diri di ruang makan.

Kedua tangan Jenggala mengepal kuat untuk menahan emosinya, ia sangat kehilangan akal dengan semua masalah ini. Ingin sekali ia menyalurkan pedihnya, bahkan rasa lapar yang sedari tadi menggrogoti hilang entah kemana. Ia benar-benar hampir muak dengan keadaan tempat yang orang-orang sebut rumah ini.

Kini Jonathan dan Jenggala sudah berada pada koridor rumah sakit. “Gala, lo mau minum apa? Gue mau ke kantin.” Jonathan menepuk pundak Jenggala.

“Air aja, thank you banget ya bang”

“Oke, lo yang tenang ya gal” Jonathan mengelus pundak temannya itu untuk memberinya semangat kemudian pergi membelikan minuman.

Jenggala merasa ada sesuatu yang berdering dari dalam tas Gladys, saat dibuka ternyata ada begitu banyak panggilan masuk dan pesan dari kakak laki-laki Gladys. Jenggala begitu kebingungan, ia masih mencoba menetralkan pikirannya untuk menjawab apa yang terjadi pada dia dan Gladys.

Ia memberanikan diri mengangkat panggilan telepon itu dan mencoba jujur pada keluarga Gladys.

“Halo dek, kamu dimana sih? Kenapa chat kakak gak kamu bales? Ini udah tengah malem kamu jangan keluyuran dong” terdengar suara yang begitu khawatir dari arah Jeffan.

“Dek?”

“Gladys?”

“Siapa ini? Tolong jangan diam saja, berikan hp ini kepada adik saya,” tegasnya.

“Maaf, ini kakaknya Gladys? Saya temannya. Gladys sedang ada di rumah sakit kasih medika,” jawab Jenggala.

“Ini siapa? Lo jangan bohong soal adik gue! Gladys lo apain?!” ungkap Jeffan dengan nada tingginya.

“Tadi ada kecelakaan yang buat kepala Gladys terbentur. Saya Jenggala, saya akan ceritakan kronologinya setelah kakak sampai disini,” tak kuat Jenggala menceritakan semuanya hanya pada via telepon.

×”Awas kalau sampe adik gue kenapa-kenapa. Mungkin lo ga bakal aman di tangan gue!”* ancam Jeffan.

Pikirannya kacau, pikirannya tak karuan, begitu banyak emosi yang terpendam dalam waktu bersamaan. Namun detik ini Jenggala hanya ingin Gladys sehat, hanya ingin gadis menyebalkan dan nekat itu segera tersadar. Ia tak bisa memaafkan dirinya jika gadis itu mengalami hal buruk karena dirinya sendiri.


Jeffan datang, ia datang dengan kemarahan menghampiri Jenggala, Jonathan dan Levin di depan ruang kamar Gladys. Ingin sekali Jeffan melayangkan kepalan tangannya pada Jenggala karena ia pikir laki-laki itulah yang membuat Gladys terluka. Namun niatnya ia urungkan karena saat ini ia berada di tempat umum, maka dari itu ia memilih mendengar penjelasan dari Jenggala, Jonathan dan Levon.


Di kamar berbau obat dan karbol itu Jeffan hanya bisa duduk terdiam melihat gadis kecilnya masih belum sadarkan diri pada ranjang rumah sakit.

“Kamu pulang aja, ini udah malem, kasian orang tua kamu nanti khawatir” tolehnya pada Jenggala yang sedang terduduk pada salah satu sofa di ruangan tersebut.

“Saya tunggu sampai Gladys siuman aja ya kak, saya pengen mastiin kalau Gladys baik-baik aja,” balasnya.

“Gausah, saya bisa jagain adik saya dengan baik. Kamu besok harus sekolah kan? Jangan sampai kurang istirahat. Sekali lagi makasi udah khawatir sama adik saya,” balasnya lagi dengan sedikit ketus.

Jenggala sesungguhnya masih ingin menunggu Gladys di sana namun ia merasa tidak berani untuk berkata tidak pada perintah dari Jeffan. Jenggala berfikir apakah Jeffan masih marah padanya hingga tak ingin jika dia ada di dekat Gladys sekalipun disaat dia benar-benar khawatir terhadap keadaan Gladys?


Berselang 10 menit sejak keluarnya Jenggala, Gladys pun sadar. Ia melihat sekitar namun malah merasa kebingungan dan mencoba mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya

“Kak Jeff? K-kakak kok disini? Yang bawa aku kesini siapa?” tanyanya bertubi-tubi dengan pikiran gelisah sebab yang dia ingat bahwa tadi dia sedang dirampok.

Simpul manis langsung terukir indah di wajah Jeffan, ia merasa sangat senang ketika melihat gadis manisnya tersadar.

“Akhirnya kamu siuman juga” “Yang bawa kamu kesini itu temen kamu si Jenggala, Jonathan sama Levon. Kakak udah tau semuanya, mereka yang certai makanya kakak cepet-cepet kesini,” jelas Jeffan.

Gladys melirik ke sekitar, menoleh mencari keberadaan seseorang.

“Jenggala sama yang lainnya udah kakak suruh pulang, kasian mereka diem disini terus, lagipula Jenggala harus sekolah kan besok,” peka Jeffan yang mengetahui apa yang dicari oleh Gladys.

Gladys hanya mengangguk paham dengan hatinya yang sedikit risau akan keadaan Jenggala, Jonathan dan Levon. “Maaf ya kak aku ngerepotin terus, aku bikin kakak tambah pusing,” ucapnya dengan suara sesal.

“Udah ga usah bahas itu dulu. Intinya sekarang kamu harus sembuh” sambil tangan sang mengusap rambut halus gadis kesayangannya itu.

Kini Jonathan dan Jenggala sudah berada pada koridor rumah sakit. “Gala, lo mau minum apa? Gue mau ke kantin.” Jonathan menepuk pundak Jenggala

“Air aja@, thank you banget ya bang”

“Oke, lo yang tenang ya gal” Jonathan mengelus pundak temannya itu untuk memberinya semangat kemudian pergi membelikan minuman.

Jenggala merasa ada sesuatu yang berdering dari dalam tas Gladys, saat dibuka ternyata ada begitu banyak panggilan masuk dan pesan dari kakak laki-laki Gladys. Jenggala begitu kebingungan, ia masih mencoba menetralkan pikirannya untuk menjawab apa yang terjadi pada dia dan Gladys.

Ia memberanikan diri mengangkat panggilan telepon itu dan mencoba jujur pada keluarga Gladys.

“Halo dek, kamu dimana sih? Kenapa chat kakak gak kamu bales? Ini udah tengah malem kamu jangan keluyuran dong” terdengar suara yang begitu khawatir dari arah Jeffan.

“Dek?”

“Gladys?”

“Siapa ini? Tolong jangan diam saja, berikan hp ini kepada adik saya,” tegasnya.

“Maaf, ini kakaknya Gladys? Saya temannya. Gladys sedang ada di rumah sakit kasih medika,” jawab Jenggala.

“Ini siapa? Lo jangan bohong soal adik gue! Gladys lo apain?!” ungkap Jeffan dengan nada tingginya.

“Tadi ada kecelakaan yang buat kepala Gladys terbentur. Saya Jenggala, saya akan ceritakan kronologinya setelah kakak sampai disini,” tak kuat Jenggala menceritakan semuanya hanya pada via telepon.

“Awas kalau sampe adik gue kenapa-kenapa. Mungkin lo ga bakal aman di tangan gue!” ancam Jeffan.

Pikirannya kacau, pikirannya tak karuan, begitu banyak emosi yang terpendam dalam waktu bersamaan. Namun detik ini Jenggala hanya ingin Gladys sehat, hanya ingin gadis menyebalkan dan nekat itu segera tersadar. Ia tak bisa memaafkan dirinya jika gadis itu mengalami hal buruk karena dirinya sendiri.


Jeffan datang, ia datang dengan kemarahan menghampiri Jenggala, Jonathan dan Levin di depan ruang kamar Gladys. Ingin sekali Jeffan melayangkan kepalan tangannya pada Jenggala karena ia pikir laki-laki itulah yang membuat Gladys terluka. Namun niatnya ia urungkan karena saat ini ia berada di tempat umum, maka dari itu ia memilih mendengar penjelasan dari Jenggala, Jonathan dan Levon.


Di kamar berbau obat dan karbol itu Jeffan hanya bisa duduk terdiam melihat gadis kecilnya masih belum sadarkan diri pada ranjang rumah sakit.

“Kamu pulang aja, ini udah malem, kasian orang tua kamu nanti khawatir” tolehnya pada Jenggala yang sedang terduduk pada salah satu sofa di ruangan tersebut.

“Saya tunggu sampai Gladys siuman aja ya kak, saya pengen mastiin kalau Gladys baik-baik aja,” balasnya.

“Gausah, saya bisa jagain adik saya dengan baik. Kamu besok harus sekolah kan? Jangan sampai kurang istirahat. Sekali lagi makasi udah khawatir sama adik saya,” balasnya lagi dengan sedikit ketus.

Jenggala sesungguhnya masih ingin menunggu Gladys di sana namun ia merasa tidak berani untuk berkata tidak pada perintah dari Jeffan. Jenggala berfikir apakah Jeffan masih marah padanya hingga tak ingin jika dia ada di dekat Gladys sekalipun disaat dia benar-benar khawatir terhadap keadaan Gladys?


Berselang 10 menit sejak keluarnya Jenggala, Gladys pun sadar. Ia melihat sekitar namun malah merasa kebingungan dan mencoba mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya

“Kak Jeff? K-kakak kok disini? Yang bawa aku kesini siapa?” tanyanya bertubi-tubi dengan pikiran gelisah sebab yang dia ingat bahwa tadi dia sedang dirampok.

Simpul manis langsung terukir indah di wajah Jeffan, ia merasa sangat senang ketika melihat gadis manisnya tersadar.

“Akhirnya kamu siuman juga” “Yang bawa kamu kesini itu temen kamu si Jenggala, Jonathan sama Levon. Kakak udah tau semuanya, mereka yang certai makanya kakak cepet-cepet kesini,” jelas Jeffan.

Gladys melirik ke sekitar, menoleh mencari keberadaan seseorang.

“Jenggala sama yang lainnya udah kakak suruh pulang, kasian mereka diem disini terus, lagipula Jenggala harus sekolah kan besok,” peka Jeffan yang mengetahui apa yang dicari oleh Gladys.

Gladys hanya mengangguk paham dengan hatinya yang sedikit risau akan keadaan Jenggala, Jonathan dan Levon. “Maaf ya kak aku ngerepotin terus, aku bikin kakak tambah pusing,” ucapnya dengan suara sesal.

“Udah ga usah bahas itu dulu. Intinya sekarang kamu harus sembuh” sambil tangan sang mengusap rambut halus gadis kesayangannya itu.

Kini Jonathan dan Jenggala sudah berada pada koridor rumah sakit. “Gala, lo mau minum apa? Gue mau ke kantin.” Jonathan menepuk pundak Jenggala

“Air aja ya bang, thank you banget ya bang”

“Oke, lo yang tenang ya gal” Jonathan mengelus pundak temannya itu untuk memberinya semangat kemudian pergi membelikan minuman.

Jenggala merasa ada sesuatu yang berdering dari dalam tas Gladys, saat dibuka ternyata ada begitu banyak panggilan masuk dan pesan dari kakak laki-laki Gladys. Jenggala begitu kebingungan, ia masih mencoba menetralkan pikirannya untuk menjawab apa yang terjadi pada dia dan Gladys.

Ia memberanikan diri mengangkat panggilan telepon itu dan mencoba jujur pada keluarga Gladys.

“Halo dek, kamu dimana sih? Kenapa chat kakak gak kamu bales? Ini udah tengah malem kamu jangan keluyuran dong” terdengar suara yang begitu khawatir dari arah Jeffan.

“Dek?”

“Gladys?”

“Siapa ini? Tolong jangan diam saja, berikan hp ini kepada adik saya,” tegasnya.

“Maaf, ini kakaknya Gladys? Saya temannya. Gladys sedang ada di rumah sakit kasih medika,” jawab Jenggala.

“Ini siapa? Lo jangan bohong soal adik gue! Gladys lo apain?!” ungkap Jeffan dengan nada tingginya.

“Tadi ada kecelakaan yang buat kepala Gladys terbentur. Saya Jenggala, saya akan ceritakan kronologinya setelah kakak sampai disini,” tak kuat Jenggala menceritakan semuanya hanya pada via telepon.

“Awas kalau sampe adik gue kenapa-kenapa. Mungkin lo ga bakal aman di tangan gue!” ancam Jeffan.

Pikirannya kacau, pikirannya tak karuan, begitu banyak emosi yang terpendam dalam waktu bersamaan. Namun detik ini Jenggala hanya ingin Gladys sehat, hanya ingin gadis menyebalkan dan nekat itu segera tersadar. Ia tak bisa memaafkan dirinya jika gadis itu mengalami hal buruk karena dirinya sendiri.


Jeffan datang, ia datang dengan kemarahan menghampiri Jenggala, Jonathan dan Levin di depan ruang kamar Gladys. Ingin sekali Jeffan melayangkan kepalan tangannya pada Jenggala karena ia pikir laki-laki itulah yang membuat Gladys terluka. Namun niatnya ia urungkan karena saat ini ia berada di tempat umum, maka dari itu ia memilih mendengar penjelasan dari Jenggala, Jonathan dan Levon.


Di kamar berbau obat dan karbol itu Jeffan hanya bisa duduk terdiam melihat gadis kecilnya masih belum sadarkan diri pada ranjang rumah sakit.

“Kamu pulang aja, ini udah malem, kasian orang tua kamu nanti khawatir” tolehnya pada Jenggala yang sedang terduduk pada salah satu sofa di ruangan tersebut.

“Saya tunggu sampai Gladys siuman aja ya kak, saya pengen mastiin kalau Gladys baik-baik aja,” balasnya.

“Gausah, saya bisa jagain adik saya dengan baik. Kamu besok harus sekolah kan? Jangan sampai kurang istirahat. Sekali lagi makasi udah khawatir sama adik saya,” balasnya lagi dengan sedikit ketus.

Jenggala sesungguhnya masih ingin menunggu Gladys di sana namun ia merasa tidak berani untuk berkata tidak pada perintah dari Jeffan. Jenggala berfikir apakah Jeffan masih marah padanya hingga tak ingin jika dia ada di dekat Gladys sekalipun disaat dia benar-benar khawatir terhadap keadaan Gladys?


Berselang 10 menit sejak keluarnya Jenggala, Gladys pun sadar. Ia melihat sekitar namun malah merasa kebingungan dan mencoba mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya

“Kak Jeff? K-kakak kok disini? Yang bawa aku kesini siapa?” tanyanya bertubi-tubi dengan pikiran gelisah sebab yang dia ingat bahwa tadi dia sedang dirampok.

Simpul manis langsung terukir indah di wajah Jeffan, ia merasa sangat senang ketika melihat gadis manisnya tersadar.

“Akhirnya kamu siuman juga” “Yang bawa kamu kesini itu temen kamu si Jenggala, Jonathan sama Levon. Kakak udah tau semuanya, mereka yang certai makanya kakak cepet-cepet kesini,” jelas Jeffan.

Gladys melirik ke sekitar, menoleh mencari keberadaan seseorang.

“Jenggala sama yang lainnya udah kakak suruh pulang, kasian mereka diem disini terus, lagipula Jenggala harus sekolah kan besok,” peka Jeffan yang mengetahui apa yang dicari oleh Gladys.

Gladys hanya mengangguk paham dengan hatinya yang sedikit risau akan keadaan Jenggala, Jonathan dan Levon. “Maaf ya kak aku ngerepotin terus, aku bikin kakak tambah pusing,” ucapnya dengan suara sesal.

“Udah ga usah bahas itu dulu. Intinya sekarang kamu harus sembuh” sambil tangan sang mengusap rambut halus gadis kesayangannya itu.

Kini Jonathan dan Jenggala sudah berada pada koridor rumah sakit. “Gala, lo mau minum apa? Gue mau ke kantin.” Jonathan menepuk pundak Jenggala

“Air aja ya bang, thank you banget ya bang”

“Oke, lo yang tenang ya gal” Jonathan mengelus pundak temannya itu untuk memberinya semangat kemudian pergi membelikan minuman.

Jenggala merasa ada sesuatu yang berdering dari dalam tas Gladys, saat dibuka ternyata ada begitu banyak panggilan masuk dan pesan dari kakak laki-laki Gladys. Jenggala begitu kebingungan, ia masih mencoba menetralkan pikirannya untuk menjawab apa yang terjadi pada dia dan Gladys.

Ia memberanikan diri mengangkat panggilan telepon itu dan mencoba jujur pada keluarga Gladys.

“Halo dek, kamu dimana sih? Kenapa chat kakak gak kamu bales? Ini udah tengah malem kamu jangan keluyuran dong” terdengar suara yang begitu khawatir dari arah Jeffan.

“Dek?”

“Gladys?”

“Siapa ini? Tolong jangan diam saja, berikan hp ini kepada adik saya,” tegasnya.

“Maaf, ini kakaknya Gladys? Saya temannya. Gladys sedang ada di rumah sakit kasih medika,” jawab Jenggala.

“Ini siapa? Lo jangan bohong soal adik gue! Gladys lo apain?!” ungkap Jeffan dengan nada tingginya.

“Tadi ada kecelakaan yang buat kepala Gladys terbentur. Saya Jenggala, saya akan ceritakan kronologinya setelah kakak sampai disini,” tak kuat Jenggala menceritakan semuanya hanya pada via telepon.

“Awas kalau sampe adik gue kenapa-kenapa. Mungkin lo ga bakal aman di tangan gue!” ancam Jeffan.

Pikirannya kacau, pikirannya tak karuan, begitu banyak emosi yang terpendam dalam waktu bersamaan. Namun detik ini Jenggala hanya ingin Gladys sehat, hanya ingin gadis menyebalkan dan nekat itu segera tersadar. Ia tak bisa memaafkan dirinya jika gadis itu mengalami hal buruk karena dirinya sendiri.


Jeffan datang, ia datang dengan kemarahan menghampiri Jenggala, Jonathan dan Levin di depan ruang kamar Gladys. Ingin sekali Jeffan melayangkan kepalan tangannya pada Jenggala karena ia pikir laki-laki itulah yang membuat Gladys terluka. Namun niatnya ia urungkan karena saat ini ia berada di tempat umum, maka dari itu ia memilih mendengar penjelasan dari Jenggala, Jonathan dan Levon.


Di kamar berbau obat dan karbol itu Jeffan hanya bisa duduk terdiam melihat gadis kecilnya masih belum sadarkan diri pada ranjang rumah sakit.

“Kamu pulang aja, ini udah malem, kasian orang tua kamu nanti khawatir” tolehnya pada Jenggala yang sedang terduduk pada salah satu sofa di ruangan tersebut.

“Saya tunggu sampai Gladys siuman aja ya kak, saya pengen mastiin kalau Gladys baik-baik aja,” balasnya.

“Gausah, saya bisa jagain adik saya dengan baik. Kamu besok harus sekolah kan? Jangan sampai kurang istirahat. Sekali lagi makasi udah khawatir sama adik saya,” balasnya lagi dengan sedikit ketus.

Jenggala sesungguhnya masih ingin menunggu Gladys di sana namun ia merasa tidak berani untuk berkata tidak pada perintah dari Jeffan. Jenggala berfikir apakah Jeffan masih marah padanya hingga tak ingin jika dia ada di dekat Gladys sekalipun disaat dia benar-benar khawatir terhadap keadaan Gladys?


Berselang 10 menit sejak keluarnya Jenggala, Gladys pun sadar. Ia melihat sekitar namun malah merasa kebingungan dan mencoba mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya

“Kak Jeff? K-kakak kok disini? Yang bawa aku kesini siapa?” tanyanya bertubi-tubi dengan pikiran gelisah sebab yang dia ingat bahwa tadi dia sedang dirampok.

Simpul manis langsung terukir indah di wajah Jeffan, ia merasa sangat senang ketika melihat gadis manisnya tersadar.

“Akhirnya kamu siuman juga” “Yang bawa kamu kesini itu temen kamu si Jenggala, Jonathan sama Levon. Kakak udah tau semuanya, mereka yang certai makanya kakak cepet-cepet kesini,” jelas Jeffan.

Gladys melirik ke sekitar, menoleh mencari keberadaan seseorang.

“Jenggala sama yang lainnya udah kakak suruh pulang, kasian mereka diem disini terus, lagipula Jenggala harus sekolah kan besok,” peka Jeffan yang mengetahui apa yang dicari oleh Gladys.

Gladys hanya mengangguk paham dengan hatinya yang sedikit risau akan keadaan Jenggala, Jonathan dan Levon. “Maaf ya kak aku ngerepotin terus, aku bikin kakak tambah pusing,” ucapnya dengan suara sesal.

“Udah ga usah bahas itu dulu. Intinya sekarang kamu harus sembuh” sambil tangan sang mengusap rambut halus gadis kesayangannya itu.